Rabu, 22 September 2010

Kembali Setelah Kecelakaan

Tulang selangka kanan saya patah gara-gara kecelakaan motor. Selangka, bukan selangkangan.

Peristiwa itu terjadi di suatu sore, menjelang magrib, ketika saya pulang dari swalayan. Motor saya menyerempet motor lain di depan saya yang tiba-tiba belok tanpa ngasih aba-aba, alias nggak nge-reting. Ketika itu saya melaju dengan kecepatan lumayan tinggi (70-80, maybe, nggak ingat juga), dan saat motor saya beradu dengan motor di depan saya itu, saya jadi kehilangan kendali. Saya oleng dan terhempas ke jalan. Kepala dan tubuh kanan saya menghantam aspal. Untung saya pakai helm, sehingga benturan di kepala agak sedikit teredam. Tapi bahu kanan saya patah. Waktu itu sih, saya nggak tahu kalau bahu saya patah. Rasanya memang sakit dan lengan kanan saya nggak bisa digerakin. Saya berusaha menyeret pantat saya ke tepi jalan. Motor yang saya serempet kelihatannya nggak apa-apa. Malah pengendara motor yang saya senggol itu lebih mengkhawatirkan keadaan saya. Saya diberi minum air putih oleh seseorang (lucky me, saya jatuhnya di dekat warung makan, hehe. Kenapa nggak pesan ayam goreng aja ya sekalian?). Setelah minum, perasaan saya jadi sedikit tenang. Dengan sisa tenaga yang saya miliki (lebai), saya kemudian menelpon Tuan Muda.

Di rumah sakit Sitti Hajar Mataram, saya dirontgen. Hasil rontgen memperlihatkan pemandangan yang lumayan membuat saya mual sekaligus excited. Saya patah tulang! Oh God, akhirnya saya ngalamin yang namanya PATAH TULANG! Clavucula (tulang selangka) kanan saya patah di dua titik. Yang satu bengkok, satunya lagi lepas dan ringsek ke dalam, membuat bahu saya jadi kelihatan pendek sebelah. Malam itu saya terpaksa menginap di rumah sakit. Saya dipasangi infus dan hidung saya dipasangi selang oksigen karena nggak bisa napas (ini pertama kalinya saya diinfus! Juga pertama kalinya saya dipasangi oksigen! Yey!), dan diberi obat untuk mengurangi rasa sakit, yang sayangnya nggak begitu ngefek. Saya kesakitan semalaman.

Tuan Muda dan Winner berjaga malam itu. Tuan Muda nggak bisa tidur, karena setiap kali mendengar saya merintih, dia langsung bangun dan berusaha sebisa mungkin membuat saya nyaman dengan posisi tidur saya, which is, mau posisi bagaimanapun tetep aja nggak ada nyaman-nyamannya sama sekali. Mau napas aja susah, dada dan pinggang kanan bagai ditusuk-tusuk pisau (patah tulang itu sakit sekali, kawan!). Sementara Winner? Dia tidur pulas ala sleeping beauty. Let’s kill him!

Well, dokter ahli tulang (masih muda, ganteng lagi, hehe) di RS itu menyarankan saya untuk melakukan operasi. Saya menyetujuinya, meski orang tua saya belum tahu kejadian ini. Saya memang belum sempat—ralat, TIDAK INGIN—memberi tahu mereka. Setidaknya sampai saya sembuh. Saya nggak mau mereka khawatir, terutama Mom. Namun, setelah berdiskusi dengan beberapa rekan kantor, termasuk bos dan salah satu senior, Bang Beng, yang pernah mengalami kejadian yang sama (kecelakaan motor + patah tulang bahu), saya mempertimbangkan saran mereka untuk nggak dioperasi, melainkan diurut ke tukang urut tulang. Awalnya saya agak ragu. Tukang urut tulang? Membayangkan tulang saya digeser-geser ke posisinya semula rasanya kok serem ya. Kebayang dong sakitnya kayak apa, apalagi tanpa bius. Ugh!

Bang Ben meyakinkan saya bahwa sakit saat diurut nggak separah yang saya bayangin. Dan lagi, jika diitung-itung, banyak juga biaya yang harus dihabiskan untuk operasi. Operasa pertama untuk pemasangan pen di tulang, operasa kedua untuk ngelepas pen, belum lagi kalau saya nggak masuk kantor yang berarti gaji saya akan dipotong. Bakal habis berapa duit tuh (berapa ya? Malas ngitung ah). Sementara di tukang urut tulang, menurut Bang Ben, proses penyembuhannya jauh lebih cepat, dengan biaya lumayan terjangkau. Hmm… pikir-pikir-pikir, dan… saya setuju ke tempat tukang urut tulang! Saya orangnya nggak mau rugi sih. Hehe. Maka Pak Bajra, mewakili pihak keluarga dari saya untuk mengurus pembatalan operasi (saya nggak nanya-nanya prosenya kayak apa).

Siang besoknya saya dibawa ke tukang urut tulang di daerah Mapak, Mataram. Dan, benar apa yang dibilang Bang Ben. Proses urut tulangnya terbilang cepat, dan hanya sedikit rasa sakit. Nggak semengerikan yang saya duga deh. Pak Haji, sang tukang urut, orangnya kocak. Saya diajak ngobrol dan sebelum saya sadari, beliau menarik lengan kanan saya dengan cepat, memutarnya sedemikian rupa, dan terdengarlah suara krek mengerikan di bahu saya. Rupanya itu suara tulang yang ‘dipaksa’ kembali ke posisinya. Saya meringis sambil mememjamkan mata, dan…

“Sudah, Mas.” kata Pak Haji.

“Hah? Sudah?” tanya saya, nggak yakin. “Kok cepat sekali?”

“Ya memang seperti itu,” jawab beliau sambil tersenyum. “Hanya saja,” tambahnya, “saya hanya menyambung bagian tulang yang lepas. Sementara bagian yang bengkok, bisa sih saya luruskan, tapi prosesnya akan lebih sakit dari yang tadi. Bagimana, Mas, mau dilurusin?”

Saya ragu-ragu “Uhm, kalau misalnya nggak dilurusin, ada efek buruknya nggak?” tanya saya takut-takut.

“Sebenarnya nggak ada. Mas bisa beraktifitas seperti biasa. Asal jangan terlalu berat.”

“Kalau gitu biarin sajalah, Pak Haji. Ini sudah lumayan enakan kok.”

Pak Haji kembali tersenyum mendengar perkataan saya. Beliau kemudian mengoleskan obat tradisional andalannya (aromanya nggak banget, by the way) ke bahu saya dan membebatnya. Saya diminta tetap ‘kontrol’ ke beliau dua kali seminggu, selama sebulan atau lebih, setidaknya sampai tulang saya benar-benar sembuh total.

Sebulan kemudian saya ambil cuti untuk pulang kampung. Kebetulan saat itu bertepatan dengan libur lebaran. Saat sedang santai dengan Mom, saya menceritakan perihal kecelakaan yang saya alami. Saya memperlihatkan ke beliau bagian tulang yang menonjol sedikit, bagian clavicula kanan yang bengkok itu. Seperti yang sudah saya duga, Mom terlihat syok dan nyaris menangis. “Kenapa kamu nggak cerita sama Mama? Padahal Mama telpon selama ini, kamu ngakunya baik-baik saja. Kamu nggak mau Mama khawatir ya? Berarti feeling Mama memang benar…”

Hah? Feeling?

Mom menceritakan mimpinya. Tepat sebulan yang lalu. Beliau mimpi saya mengalami kecelakaan motor dan bagian tubuh sebelah kanan saya berlumuran darah. Beberapa hari kemudian Mom menelepon saya untuk menanyakan kabar. Ketika menerima telpon dari beliau, saya baru pulang dari Mapak. Saat itu saya berusaha terdengar ceria di telpon, mengatakan bahwa saya baik-baik saja. Mom nggak menceritakan mimpinya itu dan lega ternyata saya nggak kenapa-kenapa.

Saya berusaha untuk meyakinkan beliau bahwa saya baik-baik saja. Mom melarang saya untuk naik motor lagi. Saya tertawa, karena beberapa hari sebelum pulang kampung, saya sempat main ke rumah Mas Agus dengan mengendarai motor, untuk ikut acara buka puasa bersama (meski saya nggak puasa sama sekali, hehe). Padahal kondisi bahu saya kala itu masih dibebat kain kassa. Trauma? Hmm… iya, dikit. Saya nggak berani ngebut lagi. Saya janji ke Mom untuk lebih berhati-hati, tapi Mom tetep aja manyun. Yaelah.

Saat mengedit tulisan ini, keadaan saya sudah jauuuuh lebih baik. Meski hingga hari ini saya nggak pernah tidur menyamping ke kanan (nggak nyaman sih), tapi selebihnya, saya merasa sehat. Dan saya selalu ingat pesan Pak Haji untuk nggak melakukan pekerjaan dan olah raga berat. Misalnya angkat besi atau mendorong truk, mungkin?

Btw, ngapain juga saya harus ngangkat besi dan ngedorong truk ya?


-11-

Gambar diambil di sini.