Senin, 20 Juni 2011

Dua Bulan Yang Lalu (bagian 3): Bali

Finally, the last day in Lombok. Pagi itu kami berpamitan dengan keluarga Ojonk. Ipul sudah berangkat lebih dulu subuh-subuh, ke Manado. Pengen ikut sih sebenarnya ke Manado. Gimana nggak? Saya kangen berat kota itu. T-T

Oke, lanjut.

Bali Dwipa, adalah penginapan yang menjadi tempat bernaung kami selama di Bali, lokasinya di kawasan Kuta. Kamar kami di lantai dua, nomor 20 dan 21. Tangga menuju lantai dua sempit dan curam. Mengangkut barang-barang ke atas menjadi tantangan tersendiri, soalnya, salah melangkah bisa jatuh guling-guling tuh. Saya cuma bergumam, “Capek deh!” Untungnya tak ada satupun di antara kami yang jatuh guling-guling. Nggak seru ya? *plak*



Sepertinya kami masih lelah setelah tour habis-habisan di Lombok. Dan karena sebagian besar tempat wisata terkenal di Bali sudah kami kunjungi tahun lalu, anak-anak memutuskan untuk menikmati hari-hari di Bali tanpa mengunjungi tempat-tempat yang jauh (Tanah Lot, Bedugul, dll).

Kamis esok harinya rombongan ingin belanja-belanja di Sukawati. Tapi sebelum itu, kami diajak Ojonk berkunjung ke rumah pacarnya. Wew, sempat-sempatnya dia mengajak kami. Mungkin Ojonk merasa perlu membuktikan bahwa dia memang sudah punya pacar? Atau sekadar pamer? (Mengingat selama ini kami (sengaja) tidak percaya bahwa Ojonk sudah punya pacar. Haha). Satu hal yang membuat geli, Ojonk yang tadinya liar kayak cacing kepanasan, mendadak jaim luar biasa. Kami pun mulai meledek sikap Ojonk itu di depan sang Kekasih. Rasakan! Mungkin Ojonk menyesal karena sudah mengajak teman-teman yang tidak tahu diri ini. Untungnya si gadis kelihatannya, uhm, maklum dengan tingkah laku kami. Meski begitu, saya harus berterima kasih kepada Ojonk, karena ternyata pacarnya menyediakan sarapan untuk kami. Yay! Lumayan kan, bisa berhemat. *menghindari tatapan sinis Ojonk dan Myutz*

Sesudah sarapan, kami pamit dan rombongan segera menuju ke Sukawati untuk membeli buah tangan dan sebagainya. Saya yang tadinya ogah-ogahan jadi ikut belanja macam-macam. Di antara teman-teman, yang saya kagumi adalah Halim, untuk urusan belanja dan tawar-menawar. Sumpah, Halim itu kalau menawar persis ibu-ibu. Tanpa malu Halim menawar baju-baju khas Bali dengan harga super-rendah (alias MURAH) dan tetap bertahan hingga para pedagang menyerah sambil memasang ekspresi pasrah. Halim memang kejam untuk urusan tawar-merawar. Saya sampai malu, soalnya kami dikira mahasiswa kere oleh pedagang di sana. Tentu saja, ini jelas-jelas penghinaan bagi Myutz, si Orang Kaya Nomor Satu. Ketika Halim sedang menawar, kami akan berpura-pura tidak mengenalnya. Malu, hehe. Tapi giliran ingin membeli suatu barang, Halimlah yang saya mintai bantuan untuk menawar. Hehehe. *digampar Halim*

Belanja di Sukawati memang menyenangkan. Tapi yang lebih menyenangkan ketika kami bertemu dengan—mengutip kalimat Ojonk di blognya—orang nomor satunya Prodip I Keuangan BPPK VIII Manado Tahun 2005. Komang Yuly Pridarsanti, sobat kami semasa kuliah, mahasiswi dengan IP tertinggi seangkatan. Asli Bali, bertugas di Bengkulu, saat ini sedang cuti. Karena tempat tinggalnya tak jauh dari Pasar Sukawati, gadis semampai itu menyempatkan diri untuk bertemu dengan kami di sana. Kami tercengang melihat penampilan Koming (Iya, Koming. Bukan salah ketik, itu memang nama panggilannya). Makin cantik deh kayaknya. Maksud saya, dulu dia tomboy, dengan tatapan mata super-tajam yang memberi kesan jutek, meski sebenarnya ia luar biasa baik hati. Sekarang ia terlihat lebih feminim, dan… senyumnya itu loh… Oh my gawd, so sweet... Kami seperti melihat orang yang berbeda. Namun, ia masih Koming yang dulu, Koming yang rendah hati. Kami pun makan siang bersama. Di sela-sela makan siang, kami saling bercanda, berkisah, dan bernostalgia tentang masa-masa kuliah. Saya tak habis pikir mengapa gadis ini masih menjomblo. (Ssstt… kalau kamu mau kenal dia, saya punya pin-nya...)

Kami mengabadikan pertemuan ini dengan berfoto bersama.



(Koming, di antara pejantan tanggung. Tapi itu motor kayaknya ganggu banget ya?) ^^;

***

Jumat. Bertepatan dengan Jumat Agung. Halim, Ojonk, Myutz, Kris, dan Fathir ke Joger. Saya tidak ikut, memilih tinggal di penginapan. Tapi saya minta tolong Halim untuk dibelikan kaos Joger sebagai oleh-oleh buat teman di Mataram. Siapa orangnya? Ada deh. Hehe. *ditabok*

Siang hari saya kelaparan. McDonalds di daerah pantai Kuta menjadi pilihan saya. Asik juga makan siang sendirian, sambil menikmati hiruk-pikuk di sekitar pantai Kuta. Melihat turis asing dan lokal berlalu-lalang di bawah terik matahari. Ada yang berjalan cepat-cepat, ada yang santai-santai saja (biasanya turis lokal), ada yang terlihat sedang menunggu seseorang, ada yang duduk-duduk sambil merokok. Ada pula robongan lokal yang seluruh anggota keluarganya sibuk menjilati es krim sambil sambil berjalan. Di meja sebelah saya, seorang cewek sedang asik suap-suapan es krim dengan (dugaan saya) guidenya. Hmm… pengeeen.

Perut kenyang, saya pun turun lebih dekat ke daerah pantai. Saya langsung dikerumuni beberapa massa *lebay*. Ada yang menawarkan jasa tatto non-permanen, pijat kaki, sampai meni-pedi kilat. Tak ada salahnya bagi-bagi rezeki, pikir saya. Maka saya pun ditatto di kedua lengan sambil kaki saya dipijat. Nyaman sekali. Dan sambil menunggu tatto-nya kering, saya menikmati perawatan kuku tangan dan kaki. Ehm, saya diberi bonus kuteks hitam di jemari kanan. Hehehe.

Sore, anak-anak kembali ke penginapan. Mereka kaget melihat kuku-kuku jari tangan saya bercat hitam. Saya pun menceritakan perihal meni-pedi di pantai tadi. Setelah mandi dan beristirahat sebentar, kami bersama-sama kembali ke pantai, niatnya ingin menikmati sunset. Sayangnya kami gagal melihat sunset, karena sore itu awan memutuskan untuk menghalangi mentari. Meski begitu, kegembiraan kami tidak berkurang. Sesi foto-foto pun tak kami lewatkan. Matahari akhirnya menghilang di balik cakrawala dan gelap mulai menyelimuti pantai. Tapi sesi foto-foto masih terus berlanjut. Teteup dong, seleb gituh… ^^



(lha ini selebnya punggung semua?)

Malam hari, ada live music di depan Discovery Mall, salah satu mall terkenal di Bali. Saya tak tahu (dan tak berniat mencari tahu) nama group bandnya, tapi dua vokalis band itu, masing-masing cewek dan cowok, cukup menarik perhatian kami, karena mereka membawakan lagu-lagu yang kebetulan kami sukai. Kami pun menyaksikan pertunjukan musik dengan antusias sambil sesekali ikut menyanyi—umh, tepatnya sambil ikut menyanyi dengan suara lantang, berusaha menyaingi kedua vokalis itu. Saya merasakan tatapan tajam pengunjung lain yang merasa terganggu. Tapi kami tak peduli.

Begitulah.

Pada akhirnya, tour di Bali kali ini tak bisa sepenuhnya disebut tour. Karena tempat terjauh kami kunjungi hanyalah Pasar Sukawati dan Joger (yang ini pun saya tidak ikut). Aktivitas kami hanya di seputar daerah Kuta. Tapi saya tidak bilang kunjungan kami ini tak menyenangkan. Karena ini kali pertama saya menginap di Kuta. Menyaksikan kehidupan malam di daerah ini pun merupakan pengalaman baru bagi saya. Pernah suatu malam, saya agak syok melihat tingkah laku para bule yang mabuk, berteriak-teriak marah kepada temannya, dan dengan ganas menabrakkan motornya ke motor temannya.

Dan… di sini, di Kuta, untuk pertama kalinya saya melihat langsung pasangan gay berciuman.

(bersambung…)


@vaan, 2011

(Next: Jogjakarta, The Final Destination)

Kamis, 16 Juni 2011

Dua Bulan Yang Lalu (bagian 2): Lombok

Daaan… liburan di Lombok pun dimulai! Semangat empat-lima nih ceritanya. Rencana-hampir-setahun kami akhirnya terlaksana juga. Cuaca yang tadinya agak menghawatirkan, ternyata tidak begitu parah. Baiklah, tidak usah berpanjang lebar, saya akan langsung menceritakan kisah kami selama di Lombok.

Sendang Gile

Inilah awal perjalanan panjang dan melelahkan dari rangkaian tour kami. Serius. Lokasi wisata pertama yang kami kunjungi ternyata cukup jauh. Air Terjun Sendang Gile. Setelah bermobil selama kurang lebih tiga jam dari Praya (dengan jalan berliku dan berlubang), kami harus menerima fakta bahwa untuk mencapai air terjun, kami harus menempuhnya lagi dengan berjalan kaki dari pintu masuk lokasi wisata. Jalan kaki? Hayuk! pikir saya enteng. Buset! Saya tidak tahu bahwa ternyata air terjunnya jauh, jalan yang dilewati berkelok-kelok, dan harus naik-turun tangga pula. Omaigath. Baru separuh jalan, saya sudah mengeluh. Aqua pun menjadi pelepas dahaga yang ampuh. Tapi teman-teman terlihat bersemangat. Nggak capek ya mereka? Atau karena saya jarang olah raga, jadi ketika menempuh perjalanan panjang ini, belum apa-apa saya sudah kehabisan tenaga?

Setelah berjalan kaki cukup jauh, akhirnya kami tiba juga. Air terjunnya? Well, menurut saya oke. Tidak wah, tapi oke. Mungkin karena saya pernah melihat air terjun yang lebih bagus dari ini. Dan fyi, kata teman Ojonk, Tomi namanya, lokasi air terjun Sendang Gile ini dijadikan lokasi syuting video klip penyanyi Indah Dewi Pertiwi untuk lagunya yang berjudul Hipnotis. Kamu pernah lihat video klipnya? Lihat air terjunnya? Nah, keren kan?

Kalau kamu sempat ke Lombok, coba deh main-main ke Sendang Gile. Tapi harus kuat jalan kaki loh ya. Ada untungnya juga saya dipaksa jalan kaki. Karena ini adalah awal dari segalanya. Berkat jalan kaki bersama Halim dan kawan-kawan, saya jadi kuat jalan kaki sekitar empat kilometer sewaktu di Yogyakarta. Tapi itu cerita nanti. Hehe.

Gili Trawangan

Tahun lalu, kami sudah pernah ke Gili Trawangan bersama. Tapi kali berbeda, karena kalau tahun lalu kami hanya berkunjung sebentar, kali ini kami akan menginap semalam di sini. Hal tersebut tak lepas dari hasutan Myutz. Dia ngebet ingin sekali merasakan kehidupan malam di Gili Trawangan, duduk di tepi pantai, memandang bulan, bla bla bla. Dipikir-pikir, boleh juga idenya. Kami pun setuju. Kalau kamu belum pernah mendengar tentang Gili Trawangan, coba deh tanya-tanya sama mbah Google. Lihat foto-fotonya. Maka kamu akan dibuat kagum oleh salah satu objek wisata yang terkenal di Lombok ini. (Mengutip kata-kata Ipoel: “Yaoloh, eksotis bangeeet…!!!”)

Sebetulnya harga penginapan di sini tidak mahal-mahal amat kok. Dan beruntung kami punya Ojonk, dia punya kenalan yang bekerja di pulau ini. Berkat kenalan Ojonk, kami memperoleh penginapan dengan harga yang sangat-sangat murah… (“APA? MURAH?” seru Myutz yang sangat ilfil mendengar kata-kata yang berhubungan dengan gaya hidup orang susah: MURAH, DISKON, TERJANGKAU, GRATIS). Tapi teteup, kenyataannya kami semua, termasuk Myutz, hepi banget mendapat penginapan murah. Ngomong-ngomong, harganya Rp. 70.000 perkamar semalam. MURAH KAN? *menghindari tatapan tajam Myutz*

Suasana malam di Gili Trawangan benar-benar eksotis. Rasanya… er… beda! Malam itu kami seperti bukan berada di Indonesia. Mengapa begitu? Karena di sepanjang jalan yang kami lewati, yang terlihat hanyalah turis-turis asing berlalu-lalang (jalan kaki atau naik sepeda) atau yang nongkrong di bar dan restoran. Penduduk lokal yang kami lihat paling-paling pelayan restoran atau pelayan hotel. Maksud saya (sepenglihatan saya ya), malam itu, turis lokal yang beredar di sekitar pulau hanyalah kami, Para Rombongan Imbisil. Berasa keren deh. Mungkin karena tidak sedang musim liburan ya, jadinya turis lokal yang bermalam di pulau hampir-hampir tidak ada.

“Waaah, rasanya seperti pulang kampung,” ujar Myutz, sok keren (ceritanya ngaku-ngaku bule). Saya mengiyakan, ikut-ikutan sok keren.

Besok paginya… sunrise! Sunrise di Gili Trawangan benar-benar luar biasa. “Biasa aja kaleee,” mungkin begitu pikirmu. Tapi saya sungguh-sungguh. Pemandangan matahari terbit di Gili Trawangan betul-betul luar biasa. No pict = hoax? Coba deh main ke blognya Ojonk. Di situ ada foto-fotonya.

Satu hal yang tidak akan terlupakan, yaitu ketika menyeberang dari dermaga Pamenang menuju Gili Trawangan. Saat menyeberang saya menyaksikan pemandangan aduhai: OJONK KOMAT-KAMIT BERDOA! Astaga, ternyata Ojonk takut banget waktu menyeberang. Padahal kan perahu yang kami tumpangi cukup besar dan kondisi laut saat itu sedang tenang. Tak pelak lagi, Ojonk menjadi bahan tertawaan kami, sobat-sobat yang luar biasa tega.

Gili Trawangan menjadi salah satu tempat wisata favorit saya untuk tour Lombok tahun ini.

Gili Nanggu

Kamu mungkin bertanya-tanya, apa pula Gili Nanggu ini? Gili itu apa? Jadi, Gili itu artinya Pulau. So, Gili Trawangan artinya Pulau Trawangan. Gili Nanggu ya artinya Pulau Nanggu.

Oke. Gili Nanggu tidak kalah indah dibanding Gili Trawangan. Malah lebih indah. Pasirnya lebih putih. Dan, kita bisa snorkeling di sana. Memang terumbu karangnya kalah dibanding Bunaken, dan tapi ikannya warna-warni dan lucu-lucu. Pernah ngasih makan ikan di laut? Mereka doyan roti tawar loh. Mereka tidak takut mengerumuni saya yang memegang roti buat mereka. Agak geli juga waktu jari saya kena gigit ikan-ikan kecil itu.

Saya dan teman-teman segera berfoto-foto ria dengan gaya super menjijikkan (telanjang dada, pose nista, dan sebagainya). Pulau indah itu pun dinodai oleh anak-anak manusia yang hina-dina-mariana. Mau liat fotonya? Seperti biasa. Main-mainlah ke… BOOOLA HAAATI… (pakai gaya bicara Myutz).

Kuta

Atau dibaca Kute. Tidak hanya di Bali loh, di Lombok juga ada pantai Kuta. Menurut saya (dan didukung oleh lebih dari separuh penduduk Lombok) bahwa Kuta Lombok lebih bagus dari Kuta Bali. Pasir putihnya, pantai birunya, sungguh pemandangan yang bisa membuat siapa pun berdecak kagum atas karya ciptaan Tuhan ini. Di pantai Kuta, terpaksa kami belanja-belanja. Beberapa penduduk lokal yang menjajakan dagangannya (dengan gaya memelas) berupa kain dan sarung khas Lombok, kaos-kaos, aksesoris, dan sebagainya. Saya, yang paling tidak tegaan, akhirnya ikut membeli kain Lombok. Myutz selaku orang paling kaya di antara grup kami, belanja paling banyak. Wew.

Theme Song

Oh ya, theme song kami selama di Lombok adalah lagunya SM*SH yang judulnya Yu No Mi So Wel. Bukan ding. I Heart You! Jadi, ceritanya, waktu di mobil (saat akan kemana saya lupa), saya memutar lagu-lagu di hape. Saat lagunya SM*SH berkumandang (apasih), langsung terdengar komentar-komentar negatif anti SM*SH. Hampir semua penghuni mobil carteran saat itu langsung menghujat SM*SH dan bilang bahwa lagu mereka nggak mutu. Tapi tahu nggak, pada bagian lagunya yang berkata “You know me so well…” dengan semangat membara kami ikut menyanyikan bagian tersebut. Jiah, katanya nggak suka SM*SH, tapi ternyata hafal mati liriknya yang so well so well itu. Hehe. Btw, tidak semua kok di antara kami yang benci SM*SH. Halim adalah pendukung SM*SH, tapi dia memilih untuk tidak banyak komentar. Nice attitude, Lim.

Cenat-Cenut

Bagian dari tour Lombok yang agak sedikit membuat cenat-cenut (yaaah, lagi-lagi SM*SH) adalah ketika Halim dengan kejamnya memutuskan bahwa rencana ke Gili Nanggu dibatalkan! Kenapa oh kenapa? Beuh, ternyata Halim trauma dengan perisitiwa penyeberangan yang kurang begitu mulus saat kembali dari Gili Trawangan menuju dermaga Pamenang. Hal ini sempat meresahkan anggota tour, termasuk saya dan Myutz. Saya tidak henti-hentinya meyakinkan Halim bahwa penyeberangan ke Gili Nanggu lebih aman karena waktunya singkat, kondisi laut sedang tenang, bla bla bla. Sementara Myutz, mendongkol gara-gara sudah menghabiskan separuh hartanya, menggadaikan mobil, perhiasan, bahkan tubuhnya, demi untuk menikmati indahnya Gili Nanggu (lebay deh) tapi dibatalkan secara sepihak oleh Halim! Untung saja, setelah jeda sehari, Halim mulai bisa melupakan traumanya. Dan… seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, kami pun mengheboh di Gili Nanggu. ASOY!

Mutiara

Ada kejadian lucu bersama Ipoel ketika berkunjung ke toko mutiara di daerah Sekarbela (fyi, Lombok juga terkenal dengan mutiaranya). Well, kita ke sana bukan hanya untuk melihat-lihat saja loh (seperti kebanyakan orang) tapi Kris memang ingin membelikan mutiara untuk ibunya (oh, anak baik si Kris itu). Lanjut. Saat sedang mengagumi perhiasan-perhiasan mutiara, Ipoel, yang sedang berdiri di sebelah saya, terpesona dengan salah satu kalung mutiara. Dengan polosnya dia bertanya kepada ibu pemilik toko.

“Bu, kalung ini berapa harganya?”

“Oh itu. Harganya dua puluh juta…,” jawab si ibu dengan kalem.

Mata saya langsung melebar. Dua puluh juta? Saya syok. Saya kaget mendengar harganya. Tapi lebih kaget lagi melihat reaksi Ipoel yang entah lebay atau beneran, yang jelas dia juga terkejut dan memasang tampang seperti baru saja kena serangan jantung.

“HAH? DUA PULUH JUTA???” kata Ipoel dramatis sambil mengalihkan pandangan ke arah saya. Bola matanya sebentar lagi bakal copot, soalnya melototnya parah banget. “Bayangin Pan, misalnya aku pake kalung itu… trus dirampas orang… kalungnya direnggut, oooh… KEBAYANG NGGAK SIH? Dua puluh jutaku... DUA PULUH JUTAKUUUU!!!!!” Ipoel mengulang-ulang kalimat terakhirnya sambil memegang lehernya dengan ekspresi merana, benar-benar seperti orang yang baru kehilangan kalung mutiara seharga dua puluh juta. Sangat natural. Parahnya, kejadian ini berlangsung di depan si ibu pemilik toko.

Saya hanya bisa ngakak.

Si ibu melempar pandangan aneh. Mungkin dalam hatinya berkata, “Kalo nggak punya duit nggak usah tanya-tanya kali, Mas.” Untung saja Kris dan beberapa teman membeli mutiara di sana. Jadi yah, saya tidak malu-malu amat melihat reaski si ibu. Si Kris membeli beberapa mutiara yang nantinya akan dijadikan gelang, buat Ibunya. Myutz membeli tasbih. Saya? Nggak beli apa-apa. Hihihi.

***

Dan masih banyak lagi tempat yang kami kunjungi di Lombok. Berkunjung ke Pantai Mawun dan Pantai Seger, belanja baju khas Lombok di Fortuna Abadi, belaja cemilan khas Lombok di Phoenix, hingga menikmati sajian Ayam Taliwang di Lesehan Taliwang Irama.

***

Setelah tiga hari menjelajahi tempat-tempat wisata di Lombok, terpaksa kami harus mengakhiri liburan kami di pulau eksotis ini. Sesuai jadwal, tujuan kami selanjutnya adalah Bali. Saya mengucapkan beribu terima kasih kepada Ojonk, Ibunda Ojonk, dan seluruh anggota keluarganya yang telah menerima kami dengan tangan terbuka. Kehangatan yang saya rasakan di rumah Ojonk membuat saya betah. Sama seperti Halim, saya adalah tipe orang yang sebetulnya kurang begitu betah menginap di rumah orang lain. Tapi di rumah Ojonk, saya merasa seperti bagian dari keluarganya. Ibunda Ojonk sangat perhatian kepada kami. Mohon maaf ya, Jonk, kalau ada perkataan atau kelakuan kami, terutama saya, yang kurang berkenan. Dan mohon maaf juga, hingga dua bulan sudah lewat, tapi saya belum berkunjung lagi ke rumahmu. Saya berharap semoga dirimu dan keluargamu diberikan kebahagiaan dan berkah melimpah. Amiiin.

***

Bali, we are coming!

(bersambung…)


@vaan, 2011

Rabu, 15 Juni 2011

Dua Bulan Yang Lalu (bagian 1): Mereka Datang!

Dua bulan sudah lewat sejak entri terakhir saya di blog ini.

Dua bulan sudah lewat sejak pertemuan dengan sobat-sobat tercinta (ew, jijik banget nggak sih kata-kata gue?). Bersama kami jalani tour yang tak akan terlupakan (Lombok, Bali, Yogyakarta), yang begitu membekas di hati saya. Dua bulan sudah lewat, tapi rasanya seperti baru kemarin…

Dua bulan yang lalu.

Tanggal 15 April 2011. Saya sedang menanti kedatangan The Rombongan Sarap di kamar kos tercinta. Malam itu awan hitam menaungi kota Mataram, mencurahkan hujan sejak tadi siang, membasahi jalan-jalan, pepohonan, rumah-rumah, dan setiap jengkal tanah di kota seribu masjid ini. Atap kos-kosan tempat saya bernaung pun tak luput dari hantaman air hujan. Begitu derasnya, sehingga tedengar seperti tumpahan beribu kerikil. Saya agak mencemaskan penerbangan mereka ke kota ini. Perasaan saya campur aduk antara cemas dan gembira. Cemas, karena cuaca yang kurang baik ini. Gembira, karena sebentar lagi saya akan bertemu dengan mereka.

Sungguh melegakan ketika Halim, bendahara tour kami, memberi tahu saya lewat hape bahwa ia dan rombongan sudah tiba di bandara Selaparang, Mataram, dan akan segera menjemput saya di kos. Saking semangatnya, saya berbicara di hape sambil mondar-mandir dalam kamar seperti setrika. Ingin sekali melompat girang layaknya bocah kecil.

Namun rasa gembira berubah menjadi horor ketika Halim berkata bahwa mereka akan melakukan inspeksi kamar kos! “Woi, Tambs, kami sebentar lagi sampai. Kamarmu akan dinilai. Tadi kamarnya Ojonk sudah waktu di Makassar, sekarang giliranmu! Siap-siap!” Nada suara Halim cukup nenakutkan buat saya. Oh my God! Bagaimana saya tidak khawatir? Kamar saya berantakan! Tak ada waktu lagi untuk beres-beres. Saya sudah membayangkan celaan yang bakal keluar dari mulut-mulut silet mereka. Saya pasrah saja. Whatever will be, will be lah…

Benar saja. Tak lama kemudian mobil carteran mereka sudah tiba di depan pintu gerbang kosan (pak supir ternyata masih ingat saya, salah satu anggota tour paling imbisil tahun lalu!). Ya, ini memang tour kedua kami. Tahun lalu, kami tour di dua daerah saja; Lombok dan Bali. Meski saya nota bene berdomisili di pulau Lombok nan indah ini, dan bisa dibilang mulai bosan dengan pemandangan elok yang disajikan Sang Pulau, rasanya akan berbeda jika menikmatinya bersama orang-orang terkasih. Percayalah.

Saya menunggu mereka di bawah siraman hujan, hanya mengenakan jaket, tanpa payung (orang susah, beli payung saja tak sanggup. Hiks!). Anak-anak langsung berhamburan turun dari mobil dengan hebohnya. Saya pun menyambut mereka tak kalah heboh. Di bawah siraman hujan, kami seperti berada di salah satu adegan film Laskar Pelangi. Oh iya, di antara kawan-kawan saya, ada Ipoel, dari dirjen pajak, yang akan ikut tour selama di Lombok saja.

Mereka langsung menodong saya, “Ayo, antar kami ke kamarmu!”

Glek!

Saya membawa mereka ke kompleks kosan (rasanya seperti menuju tiang gantungan), langsung ke kamar nomor 7 yang terletak paling pojok. Wew, dari letak kamar yang “terhuk” itu saja sudah mendapat celaan dari Myutz dan Ojonk. Menyebalkan! Dan begitu masuk ke kamar, Fathir (the Luwuknese) langsung mengeluarkan handycam dan merekam kondisi kamar saya—yang boleh dibilang mirip kapal titanic pasca karam.

Thank God ternyata penilaian mereka terhadap kamar kosan saya sedikit lebih baik dari kamar Ojonk di Makassar yang sudah mereka inspeksi sebelumnya. Lega! Saling cela pun tak bisa dielakkan. Ojonk tentu saja tidak terima kamarnya yang ber-AC (angin cepoi-cepoi) itu kalah dari kamar saya. Hehehe.

Segera sesudah itu, saya dan The Rombongan Sarap berpamitan dengan Tuan Muda. Saya menjinjing dua tas saya yang berisi baju-baju untuk keperluan tour selama sepuluh hari, mengangkutnya ke mobil, dan duduk berdesak-desakan di dalam mobil yang penuh dengan tas dan manusia. Mobil carteran pun segera meluncur ke Praya, kampung (baca keras-keras ya: KAMPUNG) halaman Ojonk, tempat kami akan menginap selama di Lombok.

Mobil menembus tirai hujan, dan kami tak henti-hentinya mengobrol, bercanda, tertawa. Ipoel, yang tadinya lebih banyak diam, akhirnya tak sanggup menahan diri dan ikut tertawa bersama kami. Langit malam yang pekat dan dinginnya udara tak mampu meredupkan kehangatan yang tercipta di antara kami, membuat saya lupa diri. Saya lupa bahwa cuaca yang kurang bersahabat ini mungkin akan mengganggu rencana liburan kami selama di Lombok. Saya lupa bahwa bisa jadi pak supir mulai jengkel dengan kegaduhan yang kami buat sepanjang jalan. Yang saya ingat, bahwa saya sedang berada bersama orang-orang yang saya sayangi. Besok bakalan hujan atau tidak adalah urusan nanti.

Di suatu tempat di Praya, Ibunda Ojonk sudah menanti kami.

Dan liburan pun dimulai…

***

(bersambung…)


@vaan, 2011

Oya, ini foto makan malam pertama di rumah Ojonk. Itu punggung saya, by the way. :)