Senin, 20 Juni 2011

Dua Bulan Yang Lalu (bagian 3): Bali

Finally, the last day in Lombok. Pagi itu kami berpamitan dengan keluarga Ojonk. Ipul sudah berangkat lebih dulu subuh-subuh, ke Manado. Pengen ikut sih sebenarnya ke Manado. Gimana nggak? Saya kangen berat kota itu. T-T

Oke, lanjut.

Bali Dwipa, adalah penginapan yang menjadi tempat bernaung kami selama di Bali, lokasinya di kawasan Kuta. Kamar kami di lantai dua, nomor 20 dan 21. Tangga menuju lantai dua sempit dan curam. Mengangkut barang-barang ke atas menjadi tantangan tersendiri, soalnya, salah melangkah bisa jatuh guling-guling tuh. Saya cuma bergumam, “Capek deh!” Untungnya tak ada satupun di antara kami yang jatuh guling-guling. Nggak seru ya? *plak*



Sepertinya kami masih lelah setelah tour habis-habisan di Lombok. Dan karena sebagian besar tempat wisata terkenal di Bali sudah kami kunjungi tahun lalu, anak-anak memutuskan untuk menikmati hari-hari di Bali tanpa mengunjungi tempat-tempat yang jauh (Tanah Lot, Bedugul, dll).

Kamis esok harinya rombongan ingin belanja-belanja di Sukawati. Tapi sebelum itu, kami diajak Ojonk berkunjung ke rumah pacarnya. Wew, sempat-sempatnya dia mengajak kami. Mungkin Ojonk merasa perlu membuktikan bahwa dia memang sudah punya pacar? Atau sekadar pamer? (Mengingat selama ini kami (sengaja) tidak percaya bahwa Ojonk sudah punya pacar. Haha). Satu hal yang membuat geli, Ojonk yang tadinya liar kayak cacing kepanasan, mendadak jaim luar biasa. Kami pun mulai meledek sikap Ojonk itu di depan sang Kekasih. Rasakan! Mungkin Ojonk menyesal karena sudah mengajak teman-teman yang tidak tahu diri ini. Untungnya si gadis kelihatannya, uhm, maklum dengan tingkah laku kami. Meski begitu, saya harus berterima kasih kepada Ojonk, karena ternyata pacarnya menyediakan sarapan untuk kami. Yay! Lumayan kan, bisa berhemat. *menghindari tatapan sinis Ojonk dan Myutz*

Sesudah sarapan, kami pamit dan rombongan segera menuju ke Sukawati untuk membeli buah tangan dan sebagainya. Saya yang tadinya ogah-ogahan jadi ikut belanja macam-macam. Di antara teman-teman, yang saya kagumi adalah Halim, untuk urusan belanja dan tawar-menawar. Sumpah, Halim itu kalau menawar persis ibu-ibu. Tanpa malu Halim menawar baju-baju khas Bali dengan harga super-rendah (alias MURAH) dan tetap bertahan hingga para pedagang menyerah sambil memasang ekspresi pasrah. Halim memang kejam untuk urusan tawar-merawar. Saya sampai malu, soalnya kami dikira mahasiswa kere oleh pedagang di sana. Tentu saja, ini jelas-jelas penghinaan bagi Myutz, si Orang Kaya Nomor Satu. Ketika Halim sedang menawar, kami akan berpura-pura tidak mengenalnya. Malu, hehe. Tapi giliran ingin membeli suatu barang, Halimlah yang saya mintai bantuan untuk menawar. Hehehe. *digampar Halim*

Belanja di Sukawati memang menyenangkan. Tapi yang lebih menyenangkan ketika kami bertemu dengan—mengutip kalimat Ojonk di blognya—orang nomor satunya Prodip I Keuangan BPPK VIII Manado Tahun 2005. Komang Yuly Pridarsanti, sobat kami semasa kuliah, mahasiswi dengan IP tertinggi seangkatan. Asli Bali, bertugas di Bengkulu, saat ini sedang cuti. Karena tempat tinggalnya tak jauh dari Pasar Sukawati, gadis semampai itu menyempatkan diri untuk bertemu dengan kami di sana. Kami tercengang melihat penampilan Koming (Iya, Koming. Bukan salah ketik, itu memang nama panggilannya). Makin cantik deh kayaknya. Maksud saya, dulu dia tomboy, dengan tatapan mata super-tajam yang memberi kesan jutek, meski sebenarnya ia luar biasa baik hati. Sekarang ia terlihat lebih feminim, dan… senyumnya itu loh… Oh my gawd, so sweet... Kami seperti melihat orang yang berbeda. Namun, ia masih Koming yang dulu, Koming yang rendah hati. Kami pun makan siang bersama. Di sela-sela makan siang, kami saling bercanda, berkisah, dan bernostalgia tentang masa-masa kuliah. Saya tak habis pikir mengapa gadis ini masih menjomblo. (Ssstt… kalau kamu mau kenal dia, saya punya pin-nya...)

Kami mengabadikan pertemuan ini dengan berfoto bersama.



(Koming, di antara pejantan tanggung. Tapi itu motor kayaknya ganggu banget ya?) ^^;

***

Jumat. Bertepatan dengan Jumat Agung. Halim, Ojonk, Myutz, Kris, dan Fathir ke Joger. Saya tidak ikut, memilih tinggal di penginapan. Tapi saya minta tolong Halim untuk dibelikan kaos Joger sebagai oleh-oleh buat teman di Mataram. Siapa orangnya? Ada deh. Hehe. *ditabok*

Siang hari saya kelaparan. McDonalds di daerah pantai Kuta menjadi pilihan saya. Asik juga makan siang sendirian, sambil menikmati hiruk-pikuk di sekitar pantai Kuta. Melihat turis asing dan lokal berlalu-lalang di bawah terik matahari. Ada yang berjalan cepat-cepat, ada yang santai-santai saja (biasanya turis lokal), ada yang terlihat sedang menunggu seseorang, ada yang duduk-duduk sambil merokok. Ada pula robongan lokal yang seluruh anggota keluarganya sibuk menjilati es krim sambil sambil berjalan. Di meja sebelah saya, seorang cewek sedang asik suap-suapan es krim dengan (dugaan saya) guidenya. Hmm… pengeeen.

Perut kenyang, saya pun turun lebih dekat ke daerah pantai. Saya langsung dikerumuni beberapa massa *lebay*. Ada yang menawarkan jasa tatto non-permanen, pijat kaki, sampai meni-pedi kilat. Tak ada salahnya bagi-bagi rezeki, pikir saya. Maka saya pun ditatto di kedua lengan sambil kaki saya dipijat. Nyaman sekali. Dan sambil menunggu tatto-nya kering, saya menikmati perawatan kuku tangan dan kaki. Ehm, saya diberi bonus kuteks hitam di jemari kanan. Hehehe.

Sore, anak-anak kembali ke penginapan. Mereka kaget melihat kuku-kuku jari tangan saya bercat hitam. Saya pun menceritakan perihal meni-pedi di pantai tadi. Setelah mandi dan beristirahat sebentar, kami bersama-sama kembali ke pantai, niatnya ingin menikmati sunset. Sayangnya kami gagal melihat sunset, karena sore itu awan memutuskan untuk menghalangi mentari. Meski begitu, kegembiraan kami tidak berkurang. Sesi foto-foto pun tak kami lewatkan. Matahari akhirnya menghilang di balik cakrawala dan gelap mulai menyelimuti pantai. Tapi sesi foto-foto masih terus berlanjut. Teteup dong, seleb gituh… ^^



(lha ini selebnya punggung semua?)

Malam hari, ada live music di depan Discovery Mall, salah satu mall terkenal di Bali. Saya tak tahu (dan tak berniat mencari tahu) nama group bandnya, tapi dua vokalis band itu, masing-masing cewek dan cowok, cukup menarik perhatian kami, karena mereka membawakan lagu-lagu yang kebetulan kami sukai. Kami pun menyaksikan pertunjukan musik dengan antusias sambil sesekali ikut menyanyi—umh, tepatnya sambil ikut menyanyi dengan suara lantang, berusaha menyaingi kedua vokalis itu. Saya merasakan tatapan tajam pengunjung lain yang merasa terganggu. Tapi kami tak peduli.

Begitulah.

Pada akhirnya, tour di Bali kali ini tak bisa sepenuhnya disebut tour. Karena tempat terjauh kami kunjungi hanyalah Pasar Sukawati dan Joger (yang ini pun saya tidak ikut). Aktivitas kami hanya di seputar daerah Kuta. Tapi saya tidak bilang kunjungan kami ini tak menyenangkan. Karena ini kali pertama saya menginap di Kuta. Menyaksikan kehidupan malam di daerah ini pun merupakan pengalaman baru bagi saya. Pernah suatu malam, saya agak syok melihat tingkah laku para bule yang mabuk, berteriak-teriak marah kepada temannya, dan dengan ganas menabrakkan motornya ke motor temannya.

Dan… di sini, di Kuta, untuk pertama kalinya saya melihat langsung pasangan gay berciuman.

(bersambung…)


@vaan, 2011

(Next: Jogjakarta, The Final Destination)

Kamis, 16 Juni 2011

Dua Bulan Yang Lalu (bagian 2): Lombok

Daaan… liburan di Lombok pun dimulai! Semangat empat-lima nih ceritanya. Rencana-hampir-setahun kami akhirnya terlaksana juga. Cuaca yang tadinya agak menghawatirkan, ternyata tidak begitu parah. Baiklah, tidak usah berpanjang lebar, saya akan langsung menceritakan kisah kami selama di Lombok.

Sendang Gile

Inilah awal perjalanan panjang dan melelahkan dari rangkaian tour kami. Serius. Lokasi wisata pertama yang kami kunjungi ternyata cukup jauh. Air Terjun Sendang Gile. Setelah bermobil selama kurang lebih tiga jam dari Praya (dengan jalan berliku dan berlubang), kami harus menerima fakta bahwa untuk mencapai air terjun, kami harus menempuhnya lagi dengan berjalan kaki dari pintu masuk lokasi wisata. Jalan kaki? Hayuk! pikir saya enteng. Buset! Saya tidak tahu bahwa ternyata air terjunnya jauh, jalan yang dilewati berkelok-kelok, dan harus naik-turun tangga pula. Omaigath. Baru separuh jalan, saya sudah mengeluh. Aqua pun menjadi pelepas dahaga yang ampuh. Tapi teman-teman terlihat bersemangat. Nggak capek ya mereka? Atau karena saya jarang olah raga, jadi ketika menempuh perjalanan panjang ini, belum apa-apa saya sudah kehabisan tenaga?

Setelah berjalan kaki cukup jauh, akhirnya kami tiba juga. Air terjunnya? Well, menurut saya oke. Tidak wah, tapi oke. Mungkin karena saya pernah melihat air terjun yang lebih bagus dari ini. Dan fyi, kata teman Ojonk, Tomi namanya, lokasi air terjun Sendang Gile ini dijadikan lokasi syuting video klip penyanyi Indah Dewi Pertiwi untuk lagunya yang berjudul Hipnotis. Kamu pernah lihat video klipnya? Lihat air terjunnya? Nah, keren kan?

Kalau kamu sempat ke Lombok, coba deh main-main ke Sendang Gile. Tapi harus kuat jalan kaki loh ya. Ada untungnya juga saya dipaksa jalan kaki. Karena ini adalah awal dari segalanya. Berkat jalan kaki bersama Halim dan kawan-kawan, saya jadi kuat jalan kaki sekitar empat kilometer sewaktu di Yogyakarta. Tapi itu cerita nanti. Hehe.

Gili Trawangan

Tahun lalu, kami sudah pernah ke Gili Trawangan bersama. Tapi kali berbeda, karena kalau tahun lalu kami hanya berkunjung sebentar, kali ini kami akan menginap semalam di sini. Hal tersebut tak lepas dari hasutan Myutz. Dia ngebet ingin sekali merasakan kehidupan malam di Gili Trawangan, duduk di tepi pantai, memandang bulan, bla bla bla. Dipikir-pikir, boleh juga idenya. Kami pun setuju. Kalau kamu belum pernah mendengar tentang Gili Trawangan, coba deh tanya-tanya sama mbah Google. Lihat foto-fotonya. Maka kamu akan dibuat kagum oleh salah satu objek wisata yang terkenal di Lombok ini. (Mengutip kata-kata Ipoel: “Yaoloh, eksotis bangeeet…!!!”)

Sebetulnya harga penginapan di sini tidak mahal-mahal amat kok. Dan beruntung kami punya Ojonk, dia punya kenalan yang bekerja di pulau ini. Berkat kenalan Ojonk, kami memperoleh penginapan dengan harga yang sangat-sangat murah… (“APA? MURAH?” seru Myutz yang sangat ilfil mendengar kata-kata yang berhubungan dengan gaya hidup orang susah: MURAH, DISKON, TERJANGKAU, GRATIS). Tapi teteup, kenyataannya kami semua, termasuk Myutz, hepi banget mendapat penginapan murah. Ngomong-ngomong, harganya Rp. 70.000 perkamar semalam. MURAH KAN? *menghindari tatapan tajam Myutz*

Suasana malam di Gili Trawangan benar-benar eksotis. Rasanya… er… beda! Malam itu kami seperti bukan berada di Indonesia. Mengapa begitu? Karena di sepanjang jalan yang kami lewati, yang terlihat hanyalah turis-turis asing berlalu-lalang (jalan kaki atau naik sepeda) atau yang nongkrong di bar dan restoran. Penduduk lokal yang kami lihat paling-paling pelayan restoran atau pelayan hotel. Maksud saya (sepenglihatan saya ya), malam itu, turis lokal yang beredar di sekitar pulau hanyalah kami, Para Rombongan Imbisil. Berasa keren deh. Mungkin karena tidak sedang musim liburan ya, jadinya turis lokal yang bermalam di pulau hampir-hampir tidak ada.

“Waaah, rasanya seperti pulang kampung,” ujar Myutz, sok keren (ceritanya ngaku-ngaku bule). Saya mengiyakan, ikut-ikutan sok keren.

Besok paginya… sunrise! Sunrise di Gili Trawangan benar-benar luar biasa. “Biasa aja kaleee,” mungkin begitu pikirmu. Tapi saya sungguh-sungguh. Pemandangan matahari terbit di Gili Trawangan betul-betul luar biasa. No pict = hoax? Coba deh main ke blognya Ojonk. Di situ ada foto-fotonya.

Satu hal yang tidak akan terlupakan, yaitu ketika menyeberang dari dermaga Pamenang menuju Gili Trawangan. Saat menyeberang saya menyaksikan pemandangan aduhai: OJONK KOMAT-KAMIT BERDOA! Astaga, ternyata Ojonk takut banget waktu menyeberang. Padahal kan perahu yang kami tumpangi cukup besar dan kondisi laut saat itu sedang tenang. Tak pelak lagi, Ojonk menjadi bahan tertawaan kami, sobat-sobat yang luar biasa tega.

Gili Trawangan menjadi salah satu tempat wisata favorit saya untuk tour Lombok tahun ini.

Gili Nanggu

Kamu mungkin bertanya-tanya, apa pula Gili Nanggu ini? Gili itu apa? Jadi, Gili itu artinya Pulau. So, Gili Trawangan artinya Pulau Trawangan. Gili Nanggu ya artinya Pulau Nanggu.

Oke. Gili Nanggu tidak kalah indah dibanding Gili Trawangan. Malah lebih indah. Pasirnya lebih putih. Dan, kita bisa snorkeling di sana. Memang terumbu karangnya kalah dibanding Bunaken, dan tapi ikannya warna-warni dan lucu-lucu. Pernah ngasih makan ikan di laut? Mereka doyan roti tawar loh. Mereka tidak takut mengerumuni saya yang memegang roti buat mereka. Agak geli juga waktu jari saya kena gigit ikan-ikan kecil itu.

Saya dan teman-teman segera berfoto-foto ria dengan gaya super menjijikkan (telanjang dada, pose nista, dan sebagainya). Pulau indah itu pun dinodai oleh anak-anak manusia yang hina-dina-mariana. Mau liat fotonya? Seperti biasa. Main-mainlah ke… BOOOLA HAAATI… (pakai gaya bicara Myutz).

Kuta

Atau dibaca Kute. Tidak hanya di Bali loh, di Lombok juga ada pantai Kuta. Menurut saya (dan didukung oleh lebih dari separuh penduduk Lombok) bahwa Kuta Lombok lebih bagus dari Kuta Bali. Pasir putihnya, pantai birunya, sungguh pemandangan yang bisa membuat siapa pun berdecak kagum atas karya ciptaan Tuhan ini. Di pantai Kuta, terpaksa kami belanja-belanja. Beberapa penduduk lokal yang menjajakan dagangannya (dengan gaya memelas) berupa kain dan sarung khas Lombok, kaos-kaos, aksesoris, dan sebagainya. Saya, yang paling tidak tegaan, akhirnya ikut membeli kain Lombok. Myutz selaku orang paling kaya di antara grup kami, belanja paling banyak. Wew.

Theme Song

Oh ya, theme song kami selama di Lombok adalah lagunya SM*SH yang judulnya Yu No Mi So Wel. Bukan ding. I Heart You! Jadi, ceritanya, waktu di mobil (saat akan kemana saya lupa), saya memutar lagu-lagu di hape. Saat lagunya SM*SH berkumandang (apasih), langsung terdengar komentar-komentar negatif anti SM*SH. Hampir semua penghuni mobil carteran saat itu langsung menghujat SM*SH dan bilang bahwa lagu mereka nggak mutu. Tapi tahu nggak, pada bagian lagunya yang berkata “You know me so well…” dengan semangat membara kami ikut menyanyikan bagian tersebut. Jiah, katanya nggak suka SM*SH, tapi ternyata hafal mati liriknya yang so well so well itu. Hehe. Btw, tidak semua kok di antara kami yang benci SM*SH. Halim adalah pendukung SM*SH, tapi dia memilih untuk tidak banyak komentar. Nice attitude, Lim.

Cenat-Cenut

Bagian dari tour Lombok yang agak sedikit membuat cenat-cenut (yaaah, lagi-lagi SM*SH) adalah ketika Halim dengan kejamnya memutuskan bahwa rencana ke Gili Nanggu dibatalkan! Kenapa oh kenapa? Beuh, ternyata Halim trauma dengan perisitiwa penyeberangan yang kurang begitu mulus saat kembali dari Gili Trawangan menuju dermaga Pamenang. Hal ini sempat meresahkan anggota tour, termasuk saya dan Myutz. Saya tidak henti-hentinya meyakinkan Halim bahwa penyeberangan ke Gili Nanggu lebih aman karena waktunya singkat, kondisi laut sedang tenang, bla bla bla. Sementara Myutz, mendongkol gara-gara sudah menghabiskan separuh hartanya, menggadaikan mobil, perhiasan, bahkan tubuhnya, demi untuk menikmati indahnya Gili Nanggu (lebay deh) tapi dibatalkan secara sepihak oleh Halim! Untung saja, setelah jeda sehari, Halim mulai bisa melupakan traumanya. Dan… seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, kami pun mengheboh di Gili Nanggu. ASOY!

Mutiara

Ada kejadian lucu bersama Ipoel ketika berkunjung ke toko mutiara di daerah Sekarbela (fyi, Lombok juga terkenal dengan mutiaranya). Well, kita ke sana bukan hanya untuk melihat-lihat saja loh (seperti kebanyakan orang) tapi Kris memang ingin membelikan mutiara untuk ibunya (oh, anak baik si Kris itu). Lanjut. Saat sedang mengagumi perhiasan-perhiasan mutiara, Ipoel, yang sedang berdiri di sebelah saya, terpesona dengan salah satu kalung mutiara. Dengan polosnya dia bertanya kepada ibu pemilik toko.

“Bu, kalung ini berapa harganya?”

“Oh itu. Harganya dua puluh juta…,” jawab si ibu dengan kalem.

Mata saya langsung melebar. Dua puluh juta? Saya syok. Saya kaget mendengar harganya. Tapi lebih kaget lagi melihat reaksi Ipoel yang entah lebay atau beneran, yang jelas dia juga terkejut dan memasang tampang seperti baru saja kena serangan jantung.

“HAH? DUA PULUH JUTA???” kata Ipoel dramatis sambil mengalihkan pandangan ke arah saya. Bola matanya sebentar lagi bakal copot, soalnya melototnya parah banget. “Bayangin Pan, misalnya aku pake kalung itu… trus dirampas orang… kalungnya direnggut, oooh… KEBAYANG NGGAK SIH? Dua puluh jutaku... DUA PULUH JUTAKUUUU!!!!!” Ipoel mengulang-ulang kalimat terakhirnya sambil memegang lehernya dengan ekspresi merana, benar-benar seperti orang yang baru kehilangan kalung mutiara seharga dua puluh juta. Sangat natural. Parahnya, kejadian ini berlangsung di depan si ibu pemilik toko.

Saya hanya bisa ngakak.

Si ibu melempar pandangan aneh. Mungkin dalam hatinya berkata, “Kalo nggak punya duit nggak usah tanya-tanya kali, Mas.” Untung saja Kris dan beberapa teman membeli mutiara di sana. Jadi yah, saya tidak malu-malu amat melihat reaski si ibu. Si Kris membeli beberapa mutiara yang nantinya akan dijadikan gelang, buat Ibunya. Myutz membeli tasbih. Saya? Nggak beli apa-apa. Hihihi.

***

Dan masih banyak lagi tempat yang kami kunjungi di Lombok. Berkunjung ke Pantai Mawun dan Pantai Seger, belanja baju khas Lombok di Fortuna Abadi, belaja cemilan khas Lombok di Phoenix, hingga menikmati sajian Ayam Taliwang di Lesehan Taliwang Irama.

***

Setelah tiga hari menjelajahi tempat-tempat wisata di Lombok, terpaksa kami harus mengakhiri liburan kami di pulau eksotis ini. Sesuai jadwal, tujuan kami selanjutnya adalah Bali. Saya mengucapkan beribu terima kasih kepada Ojonk, Ibunda Ojonk, dan seluruh anggota keluarganya yang telah menerima kami dengan tangan terbuka. Kehangatan yang saya rasakan di rumah Ojonk membuat saya betah. Sama seperti Halim, saya adalah tipe orang yang sebetulnya kurang begitu betah menginap di rumah orang lain. Tapi di rumah Ojonk, saya merasa seperti bagian dari keluarganya. Ibunda Ojonk sangat perhatian kepada kami. Mohon maaf ya, Jonk, kalau ada perkataan atau kelakuan kami, terutama saya, yang kurang berkenan. Dan mohon maaf juga, hingga dua bulan sudah lewat, tapi saya belum berkunjung lagi ke rumahmu. Saya berharap semoga dirimu dan keluargamu diberikan kebahagiaan dan berkah melimpah. Amiiin.

***

Bali, we are coming!

(bersambung…)


@vaan, 2011

Rabu, 15 Juni 2011

Dua Bulan Yang Lalu (bagian 1): Mereka Datang!

Dua bulan sudah lewat sejak entri terakhir saya di blog ini.

Dua bulan sudah lewat sejak pertemuan dengan sobat-sobat tercinta (ew, jijik banget nggak sih kata-kata gue?). Bersama kami jalani tour yang tak akan terlupakan (Lombok, Bali, Yogyakarta), yang begitu membekas di hati saya. Dua bulan sudah lewat, tapi rasanya seperti baru kemarin…

Dua bulan yang lalu.

Tanggal 15 April 2011. Saya sedang menanti kedatangan The Rombongan Sarap di kamar kos tercinta. Malam itu awan hitam menaungi kota Mataram, mencurahkan hujan sejak tadi siang, membasahi jalan-jalan, pepohonan, rumah-rumah, dan setiap jengkal tanah di kota seribu masjid ini. Atap kos-kosan tempat saya bernaung pun tak luput dari hantaman air hujan. Begitu derasnya, sehingga tedengar seperti tumpahan beribu kerikil. Saya agak mencemaskan penerbangan mereka ke kota ini. Perasaan saya campur aduk antara cemas dan gembira. Cemas, karena cuaca yang kurang baik ini. Gembira, karena sebentar lagi saya akan bertemu dengan mereka.

Sungguh melegakan ketika Halim, bendahara tour kami, memberi tahu saya lewat hape bahwa ia dan rombongan sudah tiba di bandara Selaparang, Mataram, dan akan segera menjemput saya di kos. Saking semangatnya, saya berbicara di hape sambil mondar-mandir dalam kamar seperti setrika. Ingin sekali melompat girang layaknya bocah kecil.

Namun rasa gembira berubah menjadi horor ketika Halim berkata bahwa mereka akan melakukan inspeksi kamar kos! “Woi, Tambs, kami sebentar lagi sampai. Kamarmu akan dinilai. Tadi kamarnya Ojonk sudah waktu di Makassar, sekarang giliranmu! Siap-siap!” Nada suara Halim cukup nenakutkan buat saya. Oh my God! Bagaimana saya tidak khawatir? Kamar saya berantakan! Tak ada waktu lagi untuk beres-beres. Saya sudah membayangkan celaan yang bakal keluar dari mulut-mulut silet mereka. Saya pasrah saja. Whatever will be, will be lah…

Benar saja. Tak lama kemudian mobil carteran mereka sudah tiba di depan pintu gerbang kosan (pak supir ternyata masih ingat saya, salah satu anggota tour paling imbisil tahun lalu!). Ya, ini memang tour kedua kami. Tahun lalu, kami tour di dua daerah saja; Lombok dan Bali. Meski saya nota bene berdomisili di pulau Lombok nan indah ini, dan bisa dibilang mulai bosan dengan pemandangan elok yang disajikan Sang Pulau, rasanya akan berbeda jika menikmatinya bersama orang-orang terkasih. Percayalah.

Saya menunggu mereka di bawah siraman hujan, hanya mengenakan jaket, tanpa payung (orang susah, beli payung saja tak sanggup. Hiks!). Anak-anak langsung berhamburan turun dari mobil dengan hebohnya. Saya pun menyambut mereka tak kalah heboh. Di bawah siraman hujan, kami seperti berada di salah satu adegan film Laskar Pelangi. Oh iya, di antara kawan-kawan saya, ada Ipoel, dari dirjen pajak, yang akan ikut tour selama di Lombok saja.

Mereka langsung menodong saya, “Ayo, antar kami ke kamarmu!”

Glek!

Saya membawa mereka ke kompleks kosan (rasanya seperti menuju tiang gantungan), langsung ke kamar nomor 7 yang terletak paling pojok. Wew, dari letak kamar yang “terhuk” itu saja sudah mendapat celaan dari Myutz dan Ojonk. Menyebalkan! Dan begitu masuk ke kamar, Fathir (the Luwuknese) langsung mengeluarkan handycam dan merekam kondisi kamar saya—yang boleh dibilang mirip kapal titanic pasca karam.

Thank God ternyata penilaian mereka terhadap kamar kosan saya sedikit lebih baik dari kamar Ojonk di Makassar yang sudah mereka inspeksi sebelumnya. Lega! Saling cela pun tak bisa dielakkan. Ojonk tentu saja tidak terima kamarnya yang ber-AC (angin cepoi-cepoi) itu kalah dari kamar saya. Hehehe.

Segera sesudah itu, saya dan The Rombongan Sarap berpamitan dengan Tuan Muda. Saya menjinjing dua tas saya yang berisi baju-baju untuk keperluan tour selama sepuluh hari, mengangkutnya ke mobil, dan duduk berdesak-desakan di dalam mobil yang penuh dengan tas dan manusia. Mobil carteran pun segera meluncur ke Praya, kampung (baca keras-keras ya: KAMPUNG) halaman Ojonk, tempat kami akan menginap selama di Lombok.

Mobil menembus tirai hujan, dan kami tak henti-hentinya mengobrol, bercanda, tertawa. Ipoel, yang tadinya lebih banyak diam, akhirnya tak sanggup menahan diri dan ikut tertawa bersama kami. Langit malam yang pekat dan dinginnya udara tak mampu meredupkan kehangatan yang tercipta di antara kami, membuat saya lupa diri. Saya lupa bahwa cuaca yang kurang bersahabat ini mungkin akan mengganggu rencana liburan kami selama di Lombok. Saya lupa bahwa bisa jadi pak supir mulai jengkel dengan kegaduhan yang kami buat sepanjang jalan. Yang saya ingat, bahwa saya sedang berada bersama orang-orang yang saya sayangi. Besok bakalan hujan atau tidak adalah urusan nanti.

Di suatu tempat di Praya, Ibunda Ojonk sudah menanti kami.

Dan liburan pun dimulai…

***

(bersambung…)


@vaan, 2011

Oya, ini foto makan malam pertama di rumah Ojonk. Itu punggung saya, by the way. :)

Jumat, 15 April 2011

Hari H

Akhir-akhir ini status di facebook saya selalu ada huruf 'H'nya. H-6, H-5, hingga H-1. Hari ini, adalah hari H. Bukaaan, saya bukan mau mudik. Saya mengitung hari untuk kembali bertemu dengan teman-teman seperjuangan saya. Teman-teman yang meski jarang bertemu, meski sudah tersebar ke seluruh penjuru tanah air, tapi tetap akrab, karena selalu menjaga tali silaturahmi lewat... *jeng-jeng-jeng* Facebook (ya iyalaaah, hare gene gak ponya pesbok??? *bibir dimonyongin*). Hehe.

Malam ini kami akan bertemu lagi setelah pertemuan kami setahun yang lalu. Dan sama seperti tahun kemarin, kami berkumpul untuk liburan bersama di Lombok dan Bali, mumpung masih pada bujang gitu loh. Sayangnya dua orang teman kami nggak ikut tahun ini. Sedih sih, tapi mau gimana lagi. *sigh*

Oya, untuk tahun ini, ketambahan satu daerah lagi yang akan dikunjungi, yaitu Jogjakarta. Berhubung saya belum pernah ke pulau Jawa (oke, pernah ke Jakarta sekali), saya luar biasa bersemangat! Walau sebenarnya mau kemanapun, rasa gembira saya nggak akan berkurang. Mengapa? Kerena saya bersama mereka, orang-orang sarap lahir batin, yang bisa diajak gila-gilaan bareng, yang bercandanya suka keterlaluan, tempat saya bisa ngambek sesuka hati, karena saya tahu, mereka nggak akan peduli saya ngambek. T__T

Seperti yang saya bilang sebelumnya, kami sudah tersebar-sebar di berbagai daerah, mulai dari Jayapura, Kotamobagu, Ternate, Makassar, hingga Luwuk (wew, dimana tuh ya?), sehingga harus mencari waktu yang tepat untuk bisa berkumpul bersama. Bahkan sampai memohon-mohon kepada atasan agar dikasih cuti (lebay). Rencananya kita akan menginap di rumah teman kami di daerah Praya, Lombok Tengah. Maybe tonight’s gonna be a girls—ups, salah—boys night! Hehe. Paling juga ngobrol-ngobrol, becanda-becanda, ato nggak ya tonjok-tonjokan. :D

Nggak sabar rasanya menanti kedatangan mereka. Kebetulan saya memang sedang tinggal di Mataram, jadilah saya yang menunggu kedatangan mereka. Well, jika menunggu, menurut banyak orang, adalah kegiatan yang membosankan, maka menunggu mereka justru sebaliknya. Like I said on facebook, “I’m sooo excited!”


@vaan, April, 2011

(Hadeeh, gak sabar! Semoga segalanya berjalan lancar)

Sabtu, 09 April 2011

Kesepian itu bernama LOST

Kesepian, adalah saat kau menunggu, di suatu tempat, sendirian. Kesepian, adalah saat kau melihat teman-temanmu menikmati malam minggu dengan pacar mereka masing-masing, sementara kau sendiri di kamar, nggak ada yang mengajakmu keluar, dan nggak ada yang bisa kau ajak keluar (uhukcurcoluhuk). Kesepian, adalah saat kau terkena flu dan teman-temanmu nggak. Atau saat kau berada sendiri di rumah, mati lampu.
Buat saya, kesepian adalah ketika saya sedang menggilai serial tv berjudul LOST, dan nggak ada seorangpun yang bisa saya ajak diskusi… *krikk.. krikk..*
Nggak penting banget ya? Hehe.


Saya memang sedang tergila-gila sama LOST. Duluuu banget, waktu saya SMA, pernah nonton itu di Indosiar, tapi cuma season 1 saja, itu pun nggak komplit karena entah saya yang lupa atau Indosiar memang senang mengubah-ubah jam tayangnya. Yang jelas, saya sangat menyukai ceritanya. Unik. In case you don’t know, Lost berkisah tentang sekumpulan orang yang selamat dari kecelakaan pesawat dan terjebak di sebuat pulau. Fakta bahwa ternyata pulau ini terisolir, membuat para survivor nggak bisa berharap banyak pada tim penyelamat. Mereka harus berjuang untuk bertahan hidup, karena pulau itu memiliki misterinya sendiri. Banyak hal yang nggak bisa dijelaskan dengan akal sehat terjadi di pulau ini, contohnya adalah ketika beberapa tokohnya nyaris di serang oleh beruang kutub. Iya, polar bear, yang seharusnya nggak ada di pulau tropis ini (tau sendiri dong polar bear harusnya ada dimana?). Dan masih banyak misteri lainnya. Belum lagi konflik yang muncul di antara para survivor.


Uniknya dimana? Tentu saja di penyajian cerita (storytelling). Karena selain misteri dan konflik yang dimunculkan, penonton juga diajak untuk lebih mengenal masing-masing survivor melalui adegan-adegan flashback. Tentang masa lalu mereka, rahasia yang mereka simpan, konflik batin mereka, hingga peristiwa yang berujung pada keputusan mereka untuk menumpangi Oceanic Flight 815, penerbangan yang membuat mereka berakhir di pulau itu. Saya cukup menyukai adegan-adegan flashback, meski belakangan suka menggerutu karena merasa terganggu, terutama karena rasa penasaran terhadap misteri pulau itu sendiri.


Jalan cerita yang menarik serta karakter-karakter yang lovable (well, nggak semuanya sih), membuat saya terpikat dengan serial ini, membuat saya ingin mendiskusikannya, dengan siapa saja! MASALAHNYA, serial ini bisa dibilang serial lama (tayang perdana di Amrik tahun 2004, di Indosiar tahun 2005), bahkan sudah tamat di season ke-6, tahun lalu. Bisa dibilang nggak ada lagi yang membahas serial ini. Teman-teman yang saya coba ajak diskusi, beberapa bilangnya nggak pernah nonton. Beberapa malah ada yang nggak suka (how come? Bagus begini masa nggak suka?). Forum-forum internet pun sebagian besar sudah menutup trit-trit (thread maksudnya) yang membahas Lost. Saat mencoba membaca salah satu trit Lost, yang ada saya malah dihajar spoiler habis-habisan. DOH!


Begitulah… Saat ini, meski sudah punya serial Lost komplit 6 season hasil donlot dari internet, saya harus puas menikmatinya sendirian, tanpa seseorang yang bisa saya ajak sharing. Tertawa sendiri saat menyaksikan tingkah konyol para karakter, menangis saat adegan sedih, syok saat tau masa lalu kelam salah satu karakter, rasa penasaran pada misteri di pulau itu sendiri. Semua saya nikmati sendiri.


Tapi saya puas. Setidaknya, saya bisa menonton serial favorit yang dulu nggak sempat saya tonton.


Eaaah... mellow gara-gara serial tv.


-11-

Kamis, 31 Maret 2011

D'Janji or D'Sumpah. Whatever.

Hai.

Tak terasa bulan Maret sudah mau berakhir. Dan dengan bejatnya blog ini saya telantarkan. Sibuk. (Lame excuse ya. Hahaha)

Saya cerita-cerita tentang pengambilan janji pns yang barusan saya ikuti aja ya. Tanggal 24 kemarin acaranya. Umumnya disebut sumpah pegawai negeri sipil (pns). Tapi, untuk pegawai yang beragama Kristen (iya, saya) kata sumpah diganti dengan janji, karena menurut ajaran Kristen, umatnya nggak boleh bersumpah. Er… saya nggak tahu persis bagian mana di Alkitab yang menyebut itu. Tapi bukan itu persoalannya, at least for me yah. Toh saya berjanji demi Tuhan juga, dan itu mengandung tanggung jawab yang besar (haish, bahasa gue).

Saya akui, ada sedikit perubahan dalam diri saya (sedikit doang? *plak!*), setelah pengambilan janji pns kemarin itu. Saya rasa beban di pundak saya sebagai pns makin bertambah. Gimana nggak? Secara ya, kita diambil janji berdasarkan agama dan keyakinan kita, didampingi oleh pemuka agama masing-masing (kemarin itu ada yang beragama Islam, Kristen, dan Hindu. Otomatis ada tiga pemuka agama), disaksikan oleh para pejabat, dan yang lebih penting, disaksikan Yang Maka Kuasa *gemetaran*. Momen saat diambil sumpah/janji itu terasa sangat... apa ya? Berkesanlah. Selama prosesi berlangsung, benak saja bertanya-tanya, “Hellow Gayus? Apa kabar para koruptor?” Apa mereka nggak mengganggap pengambilan sumpah (jabatan) yang mereka jalani itu sebagai sesuatu yang penting? Sesuatu yang akan dipertanggungjawabkan ‘di atas sana’ nanti? (Halah!)

Saya bukannya sok suci atau gimana. Saya ini orang berdosa juga, you know lah(dan masih suka bikin dosa, hehe). Masalahnya, kalau yang saya rugikan adalah diri saya sendiri, suka-suka saya kan? Beda halnya jika dengan jabatan yang saya duduki, saya memanfaatkannya untuk keuntungan saya dan merugikan orang lain, bahkan LEBIH BANYAK orang.

Ah, akhirnya saya justru meracau. Ini gara-gara satu hal. Demotivasi kerja. Yap, saya tengah mengalaminya, tepat di saat saya menerima surat tugas yang mengharuskan para pegawai yang belum diambil sumpah untuk segera mengambil bagian dalam kegiatan pegambilan sumpah di kantor vertikal kami itu. Thank God, hingga saat ini, saya masih bisa menjaga semangat kerja saya.

Kembali ke acara pengambilan sumpah. Saat itu saya tegang sekali. Jantung saya berdetak tiga kali lebih cepat (atau seperti itulah, kau tahu, saat kau nervous). Saking nervous-nya, saya agak kesulitan mengikuti kata-kata sumpah/janji yang dibacakan oleh Ibu Pimpinan. Ugh, saya merasa mata-mata sadis para saksi menghujam dada saya. Bener-bener horor.

Tapi setelah prosesi berakhir, segalanya kembali seperti biasa. Saya kembali rileks. Dan ngomong-ngomong, harusnya setelah itu ada acara makan-makan (yuhuu!). Tapi sayang (T.T), saya harus segera bertugas. Maklum, penjaga loket. Eh, tapi nggak apa-apa ding. Toh saya lagi diet ini. Biarlah, anggap saja saya terselamatkan dari godaan makan-sampe-lupa-daratan.

Iya, saya lagi diet. Sudah turun sekilo. Dan target saya masih 5 kilo lagi. Kalo bisa sih lebih.


-11-

Rabu, 23 Februari 2011

Dulu

Dulu, aku selalu menantimu. Berharap kau datang bersama senyum jenakamu. Atau raut sinismu.

Dulu, aku selalu berdoa pada Tuhan. Meminta kekuatan agar aku berani menyapamu. Bicara denganmu. Atau sekadar menatap matamu.

Dulu, aku selalu mengagumi setiap tarikan wajahmu. Raut ketusmu saat bosan menunggu. Atau ketika kau salah tingkah. Atau saat kau tak peduli waktu aku menyapa, seolah aku tak ada.

Dulu, ketika melihatmu, aku selalu kehilangan kendali atas tubuhku sendiri. Tiba-tiba suaraku menjadi lebih keras. Tiba-tiba bicaraku melantur. Tiba-tiba pena di tanganku jatuh. Tiba-tiba aku menjepit jariku dengan stapler. Tiba-tiba aku tertawa. Tiba-tiba aku menabrak meja. Tiba-tiba aku lupa caranya bernapas.

Dulu, jantungku berpacu lebih cepat saat kau online. Dan aku harus mengumpulkan tenaga, hanya untuk bilang ‘hai’. Setelah aku itu rasanya mau pingsan.

Itu dulu.

Dan… sekarang pun masih. :)


-11-

Minggu, 20 Februari 2011

[Review Buku] The Lost Symbol

Judul buku: The Lost Symbol
Pengarang: Dan Brown
Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno
Penerbit: Bentang Pustaka, 2010
Tebal: 712 hlm


Oke, amat-sangat-terlambat-sekali saya membaca novel Dan Brown ini (melirik tumpukan novel lainnya yang juga telat saya baca). Tapi marilah kita nggak perlu mempermasalahkan itu. Nggak apa-apa kan telat baca, daripada nggak baca sama sekali. Setuju? SETUJU! *maksa*

Berikut review singkat saya.

The Lost Symbol adalah novel ketiga Dan Brown yang tokoh utamanya seorang profesor Harvard bernama Robert Langdon, setelah sebelumnya beraksi dalam The Da Vinci Code dan Angels and Demons. Kali ini, sang ahli simbolog lajang tersebut membawa kita mengikuti petualangan serunya dalam mengungkap rahasia Gedung Capitol, di Washington DC, Amerika Serikat, yang penuh dengan misteri mengagumkan.

Awalnya, Langdon datang ke Washington DC untuk memenuhi undangan ceramah di Gedung Capitol. Tapi setelah tiba di sana, Langdon menyadari bahwa ada yang tidak beres. Undangan tersebut palsu. Dan seseorang telah meletakkan Tangan Misteri di sana, sebuah simbol yang dibuat dari potongan pergelangan tangan manusia, tangan orang yang dikenal Langdon, Peter Solomon, yang adalah sahabat dan mentornya, sekaligus tokoh penting dari Persaudaraan Mason. Peter Solomon telah diculik! Sang penculik meminta Langdon memecahkan kode-kode kelompok rahasia Mason. Kode-kode yang melindungi suatu tempat yang amat sangat dirahasiakan oleh kelompok tersebut. Sebuah rahasia, yang konon akan membuat pemiliknya mampu mengubah dunia!

Tentu saja tugas Langdon tidaklah mudah, karena ia berhadapan dengan penjahat sadis yang tidak segan-segan membunuh demi mendapatkan keinginananya. Keadaan bertambah sulit dengan adanya campur tangan CIA, yang menganggap Langdon sebagai ancaman keamanan nasional. Menyusuri lorong-lorong bahwa tanah Capitol dan tempat-tempat menakjubkan lainnya sembari menghindari kejaran CIA, Langdon berusaha memecahkan kode rahasia Mason. Sebelum tengah malam, Langdon sudah harus berhasil, karena jika dia gagal, Peter Solomon akan dibunuh, dan sebuah rahasia yang konon akan mengguncang Amerika Serikat, bahkan dunia, akan tersebar.

Seperti dua novel Dan Brown sebelumnya (The Da Vinci Code dan Angels and Demons), novel The Lost Symbol juga bertempo cepat. Rentang waktu cerita di novel setebal 712 halaman ini bahkan tak lebih dari 24 jam! Ada ketegangan di setiap halamannya, membuat siapa pun enggan melepas novel ini sebelum benar-benar selesai membacanya. (Tapi saya nggak sampai segitunya kok. Hehe. Butuh waktu sekitar dua minggu bagi saya untuk membaca novel ini.)

Dalam novel thriller-nya ini, Dan Brown kembali menunjukkan kepiawaiannya dalam bercerita. Beliau kembali memadukan fakta sejarah dan imajinasi fiksi, sehingga menghadirkan novel yang luar biasa. Topik yang diangkat adalah perkumpulan kaum rahasia Mason, yang kental dengan kontroversinya, agenda-agenda rahasianya, serta simbol-simbolnya yang—jika kita jeli—ternyata ada dimana-mana. Bahkan George Washington, Benjamin Franklin, juga berbagai ilmuwan terkenal di masanya, diduga adalah anggota Mason. Maka semakin menariklah novel ini.

Saya yakin, dalam proses penulisan The Lost Symbol, Dan Brown melakukan riset serius. Walaupun demikian, deskripsinya yang sangat mendetail tentang suatu subjek, tidaklah membosankan. Fakta-fakta sejarah yang diungkap olehnya tidak lantas membuat kita seperti dikuliahi. Malah, saya pribadi sangat antusias pada bagian-bagian dimana Dan Brown, lewat tokohnya, Robert Langdon mulai membahas sejarah benda-benda dan artefak kuno, simbol, adat-istiadat, hingga kepercayaan tertentu. Tak jarang saya memberi stabilo pada bagian kalimat atau paragraf yang saya rasa menarik.

Terlepas dari kontroversi dalam novel ini (meski mungkin nggak seheboh The Da Vinci Code), novel Dan Brown selalu memikat hati para membacanya. Dan meski nggak semencekam Angels and Demons, The Lost Symbol tetap merupakan novel penuh misteri dan ketegangan yang sayang untuk dilewatkan begitu saja. Penggemar cerita-cerita thriller wajib membaca The Lost Symbol. Saya menyesal nggak segera membaca novel ini (saya membelinya bulan Juli 2010 lalu, dan baru membacanya Februari 2011. Great!). Nikmati saja bacaan ini sebagai fiksi, dan kamu akan baik-baik saja.

Dan jangan ciut dulu begitu melihat bukunya yang oh-so-tick-banget itu. Halamannya yang tebal dikarenakan ukuran fontnya yang ramah di mata. Maksudnya saya, fontnya cukup besar. Nggak kecil seperti font novel The Lord Of The Rings. Selamat membaca!

-11-

Gambar diambil di sini.


Pengarang: Dan Brown

Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno

Penerbit: Bentang Pustaka, 2010

Tebal: 712 hlm


Rabu, 16 Februari 2011

Sekilas Tentang Bacaan Di Awal Tahun

Selesai juga membaca The Lost Symbol. Bacaan berat pertama saya di awal tahun ini—berat dalam arti sebenarnya maupun kiasan—setelah sebelumnya hanya membaca buku-buku ringan yang sebagian besar mengocok perut. Saya akan mereview The Lost Symbol nanti, di postingan yang lain. Saat ini saya hanya akan mereviewnya sedikit, bersamaan dengan bacaan saya yang lain di awal 2011. Here it goes

1. My Stupid Boss


Di awal 2011 saya dihibur oleh buku My Stupid Boss ini. Tadinya saya pikir, selain buku-bukunya Raditya Dika, nggak ada lagi buku yang bisa membuat saya ngakak guling-guling. Ternyata saya salah. Ternyata masih ada buku yang bisa bikin saya tertawa terbahak-bahak, Sodara-sodara! Saya sih tahu kalo buku ini lucu (hasil membaca cuplikan kisahnya di cover bagian belakang), tapi saya nggak nyangka buku ini bisa membuat saya lebih dari sekadar tersenyum. :D

Kamu pernah nggak berpikir, kalo kamu adalah pegawai kantoran paling malang sedunia, karena punya boss yang bikin bete? Well, kalo jawaban kamu iya, kamu harus baca buku ini, dan pikirkan kembali, benar nggak sih kamu yang paling malang? Buku ini berisi kisah nyata seorang wanita Indonesia yang bekerja di Malaysia, yang meskipun boss-nya juga sama-sama orang Indonesia, tapi kelakuan si boss ini bener-bener unbelievably nge-bete-in! (Mau contoh? Si Stupid Boss ini menyuruh sang penulis menghitung baut. Great!) Gaya bercerita si penulis yang hiperbolis bin kocak mengajak pembaca untuk menertawakan nasib malang yang menimpanya. Yah… nggak malang-malang amat sih sebenernya, karena si penulis nggak segan-segan ngelawan si boss atau mempertahankan pendapatnya selama dia yakin dirinya benar. Sang penulis menggunakan nama pena Chaos@work, sesuai dengan nama blognya: chaosatwork.com. Nggak pake nama asli, bakalan ribet kalo ketahuan si boss kali ya? Hahaha. Saya terhibur banget membaca buku ini. Dan tiba-tiba merasa beruntung, karena boss saya jauh lebih baik dari boss yang ‘dijelek-jelekkan’ sang penulis di buku ini. (^^)

2. My Stupid Boss 2


Banyak yang bilang buku yang kedua ini nggak selucu buku pertama, karena bahasanya diperhalus. Memang sih, umpatan-umpatan sang penulis yang ditujukan buat si boss di buku pertama lumayan sadis (namun tetap mengundang tawa). Tapi saya pribadi berpendapat buku kedua ini justru lebih lucu. Meski bahasanya dibuat lebih sopan, tapi nggak mengurangi efek lucu yang diciptakan sang penulis. Secara keseluruhan buku ini nggak jauh berbeda dengan buku yang pertama. Isi buku ini masih seputar curhatan si penulis tetang kantor, si boss, para pekerja, yang semuanya diramu sedemikian rupa, sehingga menghasilkan buku nonfiksi paling lucu yang pernah ada.

3. Komik Kambing Jantan 2


Jujur, saya kecewa. Entah mengapa rasanya kok komik ini lebih ‘ancur’ dari komik pertama. Ancur dalam artian jelek, bukan lucu. Dari segi gambar, kayaknya nggak rapih gitu, kesannya dibuat terburu-buru (eah, sotoy dah gue). Sedangkan ceritanya sendiri? Well, beberapa memang ada yang lucu, tapi kebanyakan cenderung dipaksakan sehingga nggak masuk akal. Kecewa berat saya. Mana harganya mahal lagi! Komik Naruto aja yang kualitasnya luar biasa itu harganya nggak mahal-mahal amat. Bagi yang ingin baca, saya sarankan pinjam saja buku ini dari teman, jangan beli. Rugi. Kecuali kalo kamu emang fans butanya Raditya Dika.

(Oh my God, apa yang terjadi dengan kalimat “nimatin-aja-bacaan-lo”nya Langit? Abaikan... Abaikan…)

4. Bule Juga Manusia


Nah, ini lucu! Richard Miles, sang penulis, adalah teman Raditya Dika. Pertama kali saya mengenal bule ngehe ini saat mengikuti perkembangan film Kambing Jantan yang infonya diupdate terus oleh Raditya Dika lewat blognya, dan bule ini ternyata salah satu figuran di film tersebut. Saya suka membaca blognya si Richard Miles (inget, Miles, bukan Mules) yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Sebagai seorang bule (dari Ostrali), penguasaan bahasa Indonesia gaulnya top banget. Fasih banget dia ber-elo-gue. Dan lagi, bule ini kocak. Tepatnya sih, gila! Sebelas-dua belaslah sama Raditya Dika. Buku ini sendiri berkisah tentang pengalaman-pengalaman seru (baca: tragis, apes, kocak, ngehe) si Bule Ostrali selama berada di Indonesia. Kita bisa melihat negara kita dari sudut pandang si Bule. Saya agak tersentuh, karena beliau mengaku cinta banget sama Indonesia. Eniwei, ceritanya nggak melulu tentang pengalaman si Bule selama di Indonesia kok. Si Bule juga curhat-curhat tentang cinta pertamanya, tentang bagaimana repotnya mengantar pulang sang pacar saat dianya kebelet boker, bahkan, bule ini ngasih tips seputar ngedate (yang tentu saja, ditulis dengan gaya yang kocak). Seru abis! Si Bule penyuka grup band Shelia On 7 ini punya gaya menulis yang asyik untuk diikuti alias nggak ngebosenin. Pertanyaan saya satu aja buat si Bule: SERIUS LO DIGODAIN OM-OM HOMO DI GEDUNG DPR??? *gegulingan*

5. Coklat Stroberi


Alasan saya utama saya membaca (oke, membeli) buku ini semata-mata karena penulisnya adalah CHRISTIAN SIMAMORA. Sudah nonton sih filmnya, bertahun-tahun yang lalu. Tapi karena saya bertekad ingin mengoleksi semua bukunya Bang Chris, jadilah saya beli buku ini lewat toko buku online (bersamaan dengan Bule Juga Manusia dan Kambing Jantan 2, sama satu lagi bukunya Bang Chris tapi belum saya baca, judulnya Macarin Anjing).

Di luar dugaan, ternyata buku ini nggak kalah lucu dibanding filmnya. Lebih lucu malah. Saya suka gaya bercerita di buku ini yang oh-so-Christian Simamora-banget. Gaya bercerita Bang Chris emang khas. Inilah mengapa saya menyukai semua buku-bukunya. Memang sih, jika dibandingkan dengan Shit Happens atau Pillow Talk, buku Coklat Stroberi ini kurang begitu ‘menggigit’, tapi tetap asik kok untuk dibaca. Novel ini lebih menarik jika dibandingin sama novel-novel based on movie script lainnya menurut saya.

6. Ngeblog Dengan Hati


Duh, sebagai blogger, saya merasa hina karena telat membaca buku ini… hiks… (lebaaay). Buat para calon blogger, buku ini sangat wajib dimiliki, karena mengupas banyak hal terkait kegiatan mengasyikkan di dunia maya, yaitu ngeblog. Tapi buku ini juga nggak melulu buat nubie kok. Blogger senior yang sudah pasti kenal dengan Ndoro Kakung, sang penulis buku ini yang juga blogger terkenal, wajib membaca dan mengoleksi buku ini. Banyak ilmu yang bisa diserap untuk bekal kita, para blogger, dalam meramaikan ranah blog Indonesia.

7. The Lost Symbol


Naaaah… Ini dia. Setelah berkutat selama dua minggu membaca di sela-sela jam kerja, makan siang, dan sebelum tidur, akhirnya selesai juga saya ‘menyantap’ buku ini. Tebalnya itu loh, membuat beberapa teman yang melihat saya menentengnya mengira saya orang pintar, karena bacaan saya yang berat. Kenyataannya nggak begitu, kawan... Gue bawa-bawa buku ini buat keren-kerenan aja kok. Hahaha.

Meski nggak sampai mengundang kehebohan maha dahsyat (lebay lagi, ampun) seperti The Da Vinci Code, Dan Brown, harus diakui, adalah penulis jenius. Dia mampu meramu fakta-fakta sejarah dalam daya imajinasi yang luar biasa, sehingga menghadirkan novel thriller yang membuat penulis manapun merasa iri. Tak hanya itu. Dan Brown membuat pembaca bingung membedakan antara fakta dan fiksi. Dua jempol buat Dan Brown! Masih kurang? Nih, saya tambahin lagi nih dua jempol… jempol kaki! Hehe.

***

So far, itulah buku-buku yang saya baca di awal tahun. Saat ini, saya sedang menikmati novel Indonesia berjudul Writer vs Editor. Nanti deh saya review kalo udah kelar. Tapi sebelum itu, saya harus mereview The Lost Symbol dulu. :)


@vaan, Februari, 2011

Rabu, 09 Februari 2011

"kenapa-lo-suka-baca"

“Anyway, udah ada yang baca novel Coastliners?”
Sebastian langsung termakan trik Lula untuk mendamaikan perseteruan yang biasanya nggak lama itu. “Udah! Love it! Elo?”
“Leave It!” (kata Lula)
“Kenapa? Menurut gue, bagus kok,” kata Langit tiba-tiba.
“He-eh, kan? Menyentuh banget. Puitis,” terang Sebastian.
“Mellow. Agak-agak dramatis,” sambung Langit.
“Slow. Bete, gue. Mana voice and tone-nya sama semua. Terus…”
“Mungkin, lo harus mengingat kembali kenapa-lo-suka-baca!” potong langit. “Santai aja, Ul. Nikmatin aja bacaan lo.”
“Iya, Beib. Kadang-kadang, elo emang nggak harus mikir kok.” (kata Sebastian)

(Shit Happens, GagasMedia, halaman 13-14)
Saya rasa bukan cuma Lula saja yang ngalamin hal di atas. Saya yakin beberapa di antara kita pasti pernah mengalaminya. Saya juga demikian. Lula, seperti kebanyakan pembaca buku dewasa ini, adalah pembaca yang kritis. Juga, pembaca yang nggak mudah di puaskan. Selalu saja merasa ada yang kurang dari bacaan tersebut. Saya pribadi merasa terlalu pemilih dalam membaca novel. Tak jarang saya berhenti membaca di tengah jalan karena menyadari si penulis ternyata berbeda pendapat dengan saya, atau, terlalu menggurui.

Sebagai pembaca, saya rasa wajar jika ada bagian dari diri saya yang ngerasa berhak menghakimi suatu bacaan, terutama jika bacaan itu mengecewakan menurut pandangan saya. Untuk novel yang saya rasa buruk, saya dengan lantang men-judge bahwa ceritanya sampah, membosankan, kurang greget, dan ungkapan-ungkapan tak puas lainnya.

Namun, kalimat sederhana dari tokoh Langit yang saya tebalin di atas seperti menohok saya. Saya lupa salah satu fakta yang seharusnya saya hargai. Apa itu? Usaha sang penulis untuk menyelesaikan novelnya. Sejelek-jeleknya, separah-parahnya sebuah novel, toh sang penulis sudah berusaha maksimal.

Bagaimanapun, ada saja usaha saya untuk berdalih: Lha gue itu beli novelnya pake duit kan? Itu berarti gue ngasih makan penulisnya kan? Harusnya gue berhak dong ngedapetin bacaan yang bagus? Dan kalo ternyata jelek begini, sia-sia dong gue, buang duit dan buang waktu!

Oke, saya agak berlebihan.

Ini soal selera sih ya. Bisa jadi bacaan yang saya anggap jelek, ternyata dipuja-puji oleh orang lain. Dan sebaliknya, bacaan yang menurut sebagian orang bagus, justru dihina-hina oleh yang lain.

“Mungkin, lo harus mengingat kembali kenapa-lo-suka-baca!” kata Langit kepada Lula. Dan kepada saya.

Saya tercenung. Mengapa saya suka membaca?

Yah… mungkin… karena saya senang membaca. Fakta itu membawa saya terbang ke masa lalu. Kala itu, membaca rasaya seperti menyantap camilan manis; saya menikmati camilan itu tanpa beban, tanpa diusik pertanyaan-pertanyaan kritis, ‘sebanyak apa kandungan pemanis buatannya?’ ‘ada bahan pengawetnya nggak?’ dan seterusnya dan seterusnya. Tak ada prasangka.

Trus gimana kalo bacaannya ternyata nggak bagus? Nggak mutu? Dan nggak-nggak lainnya?

Kemudian saya membayangkan Langit berbisik lembut di telinga saya.

“Santai aja, Vaan... Nikmatin aja bacaan lo."


-11-

Selasa, 01 Februari 2011

Bukan Resolusi

Mungkin agak terlambat ya, jika saya menulis resolusi 2011 sekarang? Haha. Sebenarnya sebelum awal tahun saya telah berencana menulis resolusi untuk tahun 2011; hal-hal apa saja yang akan saya lakukan atau ingin saya capai. Actually, menetapkan resolusi dalam bentuk tulisan baru dua tahun terakhir ini saya lakukan. Latah, ikut-ikut temen bikin resolusi. Dan bisa ditebak, banyak dari resolusi yang saya bikin itu nggak kesampaian. Sebagian karena lupa!

Setelah dipikir-pikir, saya merasa perlu untuk menetapkan resolusi di tahun ini. Bukan karena latah. Bukan pula untuk menambah jumlah postingan di blog ini (oke, bagian yang ini saya bohong sedikit, hehe). Saya butuh sesuatu yang bisa membantu saya fokus dalam menjalani hari-hari yang penuh ketidakpastian ini (jiah). Saya bosan being spontaneous, menjalani rutinitas apa adanya tanpa tujuan yang spesifik, hanya berharap agar bisa melewati setiap hari dengan sukses (bukan berharap tanpa masalah lho. Saya sadar, masalah justru mendewasakan saya—dan kita semua. Membuat kita belajar…).

Jadi, karena sekarang sudah Februari, maka anggap saja yang akan saya tulis di bawah ini bukan resolusi, tapi sekadar pengingat akan hal-hal yang akan/ingin/harus saya lakukan di sisa tahun 2011 yang masih panjang ini (huessss):

  1. Mulai kuliah, secepatnya! Dua tahun dan delapan bulan di Mataram, saya hanya disibukkan dengan pekerjaan. Sudah saatnya meraih gelar sarjana. Hiks, malu saya, umur sudah 24 tapi gelar S1 aja belum punya. Universitas Terbuka adalah pilihan yang paling mungkin saat ini. Maklum, orang sibuk. *dilempar sandal*
  2. Membaca minimal 50 buku (fiksi + nonfiksi). Untuk sementara target saya segitu dulu. Buku-buku yang masuk to-read-list saya beberapa di antaranya lumayan tebal sih, sementara saya adalah pembaca lambat. *sighing*
  3. Konsisten mengupdate blog.
  4. Bikin paspor.
  5. Pulang kampung. Minimal sekali saja, itu sudah sangat-sangat membuat saya senang.
  6. Diet.
  7. Mulai jogging.
  8. Mengurangi merokok.
  9. Cari pacar. Nggak usah komentar ya… Haha.
  10. Lebih sering menulis, menulis, daaaan terus menulis. Paling tidak menulis fanfiction. Atau coba-coba nulis cerpen, siapa tau beruntung dimuat di media cetak.
  11. Mainin game Final Fantasy XIII. God, penasaran banget sama game itu!
  12. Belajar bahasa Inggris lagi. Tujuan saya sederhana. Saya ingin minimal lancar membaca tulisan bahasa Inggris. Mengapa? Banyak ebook karya sastra bagus di internet yang ditulis dalam bahasa Inggris, sayang rasanya kalau saya tak bisa menikmatinya hanya karena nggak lancar bahasa Inggris.
Itu aja dulu. Siapa tau nambah lagi.

Good nite.


-11-

Jumat, 28 Januari 2011

Cerai


Siang tadi, di sela-sela jam kerja, saya ditelpon seorang teman lama. Meski lama tidak ketemu (sekitar dua tahunan), kami tetap menjaga tali silaturahmi lewat telpon dan sms. Tapi telponnya kali ini di luar kebiasaan--biasanya ia menelpon saya saat weekend, atau paling tidak, bukan di jam kerja. Obrolan yang sering terjadi pun standar obrolan antar kawan lama, saling bertanya kabar, bertukar cerita tentang hal-hal seputar pekerjaan, keluarga, tempat tinggal dan sebagainya.

Kali ini berbeda. Nada suaranya serius, tanpa basa-basi.

“Bro, bisa minta tolong nggak? Gue sedang dalam proses cerai sama istri. Gue lagi butuh duit nih. Buat bayar ini-itu selama proses cerai.”

“Eh?” saya agak terkejut. “Tentu bisa lah, Bro."

“Elo udah tahu ya gue mau cerai?”

“Ya nggaklah, baru tahu ini kok.”

“Tapi kok reaksinya biasa gitu? Nggak kaget ato gimana gitu?”

Saya cuma tertawa pelan. Kaget sih, sedikit. Mungkin teman saya ini mengharapkan reaksi heboh dari saya. Yah, saya memang orangnya heboh, untuk kejadian yang biasa-biasa saja sering saya respon dengan gaya berlebihan aka lebay, apalagi ini, cerai.

“Yaaa… gimana ya.” Saya menggaruk kepala saya yang nggak gatal sama sekali. “Turut prihatin aja deh.”

Dia ngakak mendengar jawaban saya. Heran, untuk ukuran orang yang sedang dalam proses perceraian setelah menikah bertahun-tahun hingga dikaruniai dua orang orang anak, nada suaranya terdengar tanpa beban. Ini beneran nggak sih mau cerai?

“Emang masalahnya apa?” Saya berusaha terdengar berempati. “Kok bisa sih sampe cerai-cerai segala? Padahal selama ini kayaknya nggak ada masalah apa-apa…”

Ada jeda sejenak. “Uhm… nanti ya gue ceritain.” Suaranya sendu kali ini. “Yang penting, sekarang ini elo bisa bantu gue kan?”

“Sip, Bro. Butuh berapa?”

Dia menyebut nominal dan nomor rekeningnya, berjanji kapan akan mengembalikan uang saya. Saya menyanggupi.

Pembicaraan ditelpon pun berakhir, setelah saya kewalahan atas ucapan terima kasih bertubi-tubi darinya (oke, lebai).

Well, meski saya orang yang ekspresif (heboh, pecicilan, lebay, you name it) terkadang reaksi saya untuk sesuatu yang lebih serius malah adem-adem aja. Mungkin ada yang salah dengan saya. Atau, saya hanya nggak tau gimana bereaksi atas masalah teman saya ini. Entahlah.


-11-

Gambar diambil di sini.

Minggu, 23 Januari 2011

Get Stuck!



Christian Simamora, salah satu penulis favorit saya, pernah menulis status di facebook kurang lebih seperti ini: “Terlalu banyak ide sama jeleknya dengan nggak ada ide sama sekali.”

Kedua alis saya menyatu saat membaca statusnya itu. Justru bagus kan, kalo kita punya banyak ide? Tapi setelah dipikir-pikir, ungkapan Bang Chris ada benarnya juga. Terlalu banyak ide justru membuat kita (ato dalam hal ini, Bang Chris) kebingungan. Ide mana yang akan dipakai, mana yang nggak, bagusan mana antara ide yang ini ato yang itu, bla bla bla. Pada akhirnya proses menulis pun mandeg.

Saya rasa, saya mengalami hal yang sama. Begini, saya suka mencatat ide-ide saya di sebuah notes kecil, yang nantinya akan saya tuangkan ke dalam entri di blog. Notes itu pun akhirnya dipenuhi catatan-catatan random tentang banyak hal, tentang gagasan-gagasan yang muncul saat saya melamun, nonton film, mendengar khotbah di gereja (well, saya nggak taat-taat amak kok), saat beol di pagi hari, ketika terlibat percakapan seru dengan teman dan sebagainya. Akhirnya, dari sekian banyak catatan-catatan kecil yang saya tulis itu, saya bingung memilih mana yang akan saya kembangkan menjadi tulisan utuh. Tiap kali memandang microsoft word 2007 yang telah siap diisi dengan kata-kata, pikiran saya buntu. Parahnya lagi, semua ide itu tiba-tiba tak satu pun yang saya rasa menarik.

Apakah ini efek terlalu banyak ide? Atau saya kena ‘penyakit’ write’s block? Atau, saya hanya kehilangan mood? Jika ini memang perang melawan mood, jelas-jelas saya telah kalah. Kalo sudah begini, biasanya saya memilih untuk menonton serial tv saja di laptop. Atau beralih ke tumpukan novel di samping tempat tidur, meraih salah satunya, membacanya, berharap bisa merefresh otak saya yang mulai mengeras. Too bad, seringnya saya malah ketiduran!

Cara lain yang saya coba adalah browsing internet, mencari tips-tips menulis. Tips menulis yang sudah saya coba yaitu menulis buruk. Artinya, menulis apa pun yang terlintas di kepala kita tanpa mengindahkan tata bahasa, logika, kekonsistenan kalimat dan sebagainya. Barulah kita mengeditnya belakangan. Jangan menulis sambil mengedit, karena itu justru membuat kita terkekang dan kesulitan menyelesaikan tulisan kita.

Percayalah, tips di atas benar-benar sudah saya coba. Dan terbukti… NGGAK NGEFEK TUH! Setidaknya nggak ngefek buat saya. *sigh*

Saya browsing internet lagi. Kali ini bukan mencari tips tentang cara menulis yang baik, atau yang sesuai dengan style kita dan semacamnya, tapi saya mencari tips bagaimana menjaga semangat untuk tetap menulis. Well, beberapa saya temukan di sini, dan harus saya akui, kelima puluh tips itu cukup membakar semangat saya. Sungguh! Setelah saya membacanya, sesegera mungkin saya kembali ke laptop (Tukul mode, on), membuka microsoft word, dan… kembali mematung! Nggak tau mau nulis apaan. Saya ngecek notes kecil saya lagi, dan notes itu berakhir dengan mengenaskan di lantai, saya lempar begitu saja saking kesalnya. Kesian deh lu, Notes…

Rasanya ingin berhenti saja menulis! Berhenti, agar semua kegalauan (halah) yang menumpuk di kepala tentang tulis-menulis dan segala tetek-bengeknya lenyap, berganti perasaan lega. Lebih baik saya menemukan minat saya yang lain, menekuninya, ketimbang bergulat dengan kata-kata yang nggak kunjung menjadi kalimat, paragraf, apalagi satu tulisan utuh. Namun, meskipun pikiran itu sudah melintas di kepala saya, saya malah nggak bisa berhenti begitu saja. Semakin saya menetapkan hati untuk berhenti, semakin nggak nyaman saya rasakan. Yang ada bukan perasaan lega, justru saya merasa seperti berhutang kepada seseorang. Tau kan gimana rasanya ngutang? Ngutang ke tukang bakso misalnya, karena lupa nggak bawa dompet. Nggak enak banget kan? (Yeah, I know, siapa juga yang mau ngutang ke tukang bakso? Dan kenapa juga saya memilih analogi ini! Nggak kreatif!)

Demi menghilangkan perasaan seolah-ngutang-ke-tukang-bakso itu, saya mencoba melihat kembali catatan di notes malang saya (ehem, maapin gue, Notes malang, udah ngebuang kamu…). Saya menambahkan coretan-coretan baru, untuk kemudian diposting di blog. Dan, AJAIB! Saat berhadapan dengan Tukul, eh, dengan laptop maksud saya, sekali lagi, saya nggak bisa menyelesaikan tulisan saya. Sekali lagi, otak saya mengeras. Sekali lagi, mending gantung diri aja deh! Agggghhh!!!!!

Edit to add:
"Anjir. Cuma mau nulis blog doang udah kayak mau nulis novel aja lu, Pan. Lebaiiiii..."


-11-

Rabu, 05 Januari 2011

Hero




Kemungkinan besar kamu akan melakukan apa pun yang diminta oleh orang yang kamu sayangi. Even itu sesuatu yang nggak kamu suka, selama bisa kamu lakukan, kamu akan melakukannya. Misalnya, suatu saat si dia iseng memintamu menulis puisi, kamu pasti akan menulisnya meskipun hasilnya puisi kamu garing (seringnya sih, lebai). Saat dia memintamu berhenti merokok, kamu mungkin menggerutu, tapi kamu akan berhenti merokok (setidaknya di depan dia, tapi di belakang dia, TETEP aja kamu isep-isep itu barang). Mungkin dia memintamu nurunin berat badan, dan kamu akhirnya rajin fitness, minimal jogging atau diet. Atau iseng-iseng dia memintamu kayang di jalan tol (yah, namanya juga iseng). Untuk yang satu itu sih, kamu mesti tanya balik dulu ke dia, “Honey… kamu cinta aku nggak sih! KAMU MAU AKU MATI DILINDES TRUK???”


Tapi, akan lebih mudah memenuhi keinginan orang terkasihmu, jika yang dia minta justru sesuatu yang kamu senang ngelakuinnya. Misalnya jika dia memintamu… uhm, menyanyi, misalnya.


Seperti yang dialami Jo siang itu. Orang yang diam-diam dia sayangi memintanya untuk menyanyi.


Saat itu jam dinding sudah menunjukkan waktu makan siang. Mata Jo celingukan mencari teman untuk diajak makan siang bareng. Dudi, yang biasanya jadi partner makan siangnya, rupanya masih banyak kerjaan. Bukan hanya Dudi, dua orang lainnya juga terlihat sibuk dengan kerjaan mereka; Dimas dan satunya lagi… dia, orang yang selama ini memenuhi kepalanya, orang yang dicintainya diam-diam.


“Tunggu bentar ya, Jo, tanggung nih,” ujar Dudi sambil melirik sekilas ke Jo. “Atau lo duluan aja?”


Jo berpikir sebentar, menggigit bibir bawahnya. Garing ah makan siang sendirian. “Nggak lama kan lo? Gue tungguin deh.”


“Siiip, nggak lama kok.”


Sambil menunggu, Jo mengambil gitar milik Dudi dan mulai memainkan kunci-kunci sederhana (fyi, Dudi sengaja membawa gitar kesayangannya ke kantor, biar bisa nyanyi-nyanyi kalo lagi santai, atau kalo lagi bete). Ngomong-ngomong, Jo suka lagu-lagu mellow milik diva-diva terkenal macam Celine Dion dan Mariah Carey. Memang sih, that is not so manly untuk ukuran seorang cowok, but hey, lagu mereka kan bagus-bagus. You have to admit it! Itulah mengapa Jo menyenandungkan (duileh… bahasanya) My Heart Will Go On-nya Celine Dion. Plus dengan penuh penghayatan (untungnya Jo nggak sampe grepe-grepe badannya sendiri saking menghayatinya).


Satu lagu selesai Jo nyanyikan, tapi Dudi masih belum selesai dengan kerjaannya. Perutnya mulai keronconngan. Dasar Dudi JELEK! Nggak lama apanya??? kutuk Jo. Ups, dosa deh Jo, udah nganta-ngatai Dudi meski dalam hati doang. Cowok itu memutuskan nggak mau menambah dosanya dengan menaruh kembali gitar Dudi ke tempat semula. Jo nggak mau tanggung jawab kalo sampe ada yang kena pendarahan telinga gara-gara dengerin suara cemprengnya itu.


Tapi... ada yang protes gara-gara Jo berhenti nyanyi!


“Loh, kok cuma satu lagu doang, Jo? Tanggung banget!”


Jo menoleh ke arah sang pemilik suara. Ternyata orang itu… dia! Jo ragu-ragu, apakah orang itu serius atau bercanda.


Melihat wajah bengong Jo, sang pujaan hati kembali berkata, kali ini disertai senyum yang oh-so-cute banget, “Lagi dong nyanyinya. Biar gue ma teman-teman semangat kerjanya nih.” Dudi dan Dimas, mengangguk setuju. Entah memang suka mendengar Jo menyanyi (ini aneh!) atau karena ingin agar Jo sama-sama kelaparan bersama mereka (ini mungkin bener!).


“Serius? Lo mau gue nyanyi lagi? Suara gue jelek gini ah…,” jawab Jo, memasang tampang malu-malu-nista. Malu-malu tapi mupeng!


“Halah, banyak lagak lo. Udah, nyanyi sana!” jawab dia.


Duh, galak bener sih, pikir Jo. Meski begitu, hati Jo berbunga-bunga. Dia, loh yang minta Jo nyanyi! Dia! Haduh, kapan coba, dia pernah minta Jo nyanyi? Nggak pernah kan? Baru kali ini kan? Ya ampun, kalo ini di film Laskar Pelangi, di sekeliling Jo mungkin sudah penuhi bunga-bunga geranium yang melayang-melayang mesra (halaaah).


Jo meraih gitar Dudi untuk kedua kalinya siang itu.


“Mau lagu apa, guys?” tanya Jo ke teman-temannya. Maksudnya sih, ke dia. Hehe.


“Terserah lo aja.” Dia yang menjawab.


Susah payah Jo menahan diri untuk nggak terlihat sumringah. Maklum, cowok itu kelewat hepi.


Setelah berpikir sebentar, Jo mulai menyanyikan Hero-nya Mariah Carey. Penghayatannya terhadap lagu itu masih sama dengan saat dia menyanyi My Heart Will Go On tadi. Tenang aja, dia nggak grepe-grepe badannya sendiri kok! Mau grepe-grepe juga susah, wong dia sambil maenin gitar gitu.


Ah... dia... Jo sendiri sudah lupa sejak kapan dia menyukai orang itu. Padahal awalnya Jo malah tertarik sama orang lain yang bukan dia. Dibolak-balik berapa kali juga, dia itu buka tipe Jo banget. But whatever-lah. Toh Jo udah terlanjur suka, terlanjur cinta.


Hero... adalah lagu yang tepat untuk menggambarkan perasaan Jo saat itu. Hero, sengaja dipilihnya untuk dia, sang pahlawan hati.


Dan siang itu Jo lupa bagaimana rasanya lapar.




-11-


Gambar diambil di sini.