Sabtu, 31 Maret 2012

Hometown Glory

 

Belakangan ini Adele terkenal banget ya? Saya nggak nyangka Adele yang saya kenal sejak 2010 itu akan setenar sekarang. Kalau dulu di kantor hanya saya yang gemar memutar lagu-lagu Adele (thanks to Pak Boss yang nggak melarang anak buahnya memutar musik di jam kerja—asal nggak terlalu kencang, hehe), now I’m not the only one. Saat ini, hampir dimana saja saya bisa mendengar lagu-lagu Adele. Mulai dari di playlist komputer saya sendiri, di playlist komputer teman, di mall, hingga di tv (terutama acara infotainment, mereka sering banget menjadikan lagu-lagu Adele sebagai background music untuk info selebritas yang mengalami kegagalan cinta [anjir bahasa gue!]—salah satunya Jupe yang putus dari Gaston [dobel anjir, ternyata gue ngikutin berita itu!]). Well, nama Adele memang semakin melambung sejak memenangkan enam Grammy Award 2012.

Pertama kali saya tahu Adele adalah lewat lagunya yang berjudul Hometown Glory, salah satu lagu dalam album kompilasi nominasi Grammy 2010. Lagu ini, entah mengapa, membuat saya terkenang pada kampung halaman saya.

Tiba-tiba saya merasa rindu pada Airmadidi, kota kecil tempat saya tumbuh itu. Rindu pada penghuninya yang gemar bergosip. Rindu pada pasar tradisionalnya yang becek dan beraroma ikan, pada pedagang obat yang suka melontarkan kalimat-kalimat lucu untuk menarik minat pembeli, pada sayuran segar yang dijual oleh ibu-ibu tua berpakaian lusuh yang berjongkok di depan dagangannya, pada delman yang bau tahi kuda, pada para pembelinya yang gemar menawar dengan sangat-sangat Afgan alias “sadis” (salah satu penawar “sadis” tersebut adalah Ibu saya sendiri. Saya ingat, waktu kecil saya sering diajak Ibu ke pasar, dan saya malu banget saat Ibu mulai menawar ala Afgan. Herannya, Ibu saya selalu sukses menawar! Apa rahasianya ya?). Saya rindu geraja yang (insert ‘jarang’ here) saya kunjungi setiap hari Minggu, meski tak pernah membuat saya nyaman, namun saya senang karena di tempat itulah saya bertemu dengan teman-teman dekat. Saya rindu terminalnya, pada angkot-angkotnya yang selalu memutar musik-musik terbaru.

Lebih dari semua itu, saya rindu keluarga kecil saya; pada Ibu, pada Bapak, pada adik laki-laki saya satu-satunya.


Segitu dahsyatnya ya, efek lagu Hometown Glory? Saya aja heran. Lagu itu sanggup membuka pintu ingatan saya akan kampung halaman. Memang, Airmadidi menyimpan banyak kenangan. Kenangan indah. Kenangan tak indah. Kalau mau jujur, ada saat dimana saya merasa luar biasa bosan terhadap kota itu. Bukan hanya bosan. Terkadang saya merasa Airmadidi tak ubahnya sebuah penjara besar. Tangan dan kaki saya seperti dibelenggu. Di kota kecil seperti ini, tak ada tempat buatmu untuk berbuat kesalahan. Keluarga, tetangga, lingkungan, menuntutmu untuk selalu tampil sebagai anak baik dan patuh. And it really sucks, if you know what I mean. Maka tak heran saya merasa gembira ketika dimutasi ke Lombok. Saya bersyukur bisa pergi jauh-jauh dari kampung halaman. Karena dengan begitu saya bisa merasa rindu. Bukankah rindu adalah tanda sayang?

Wah, jadinya curhat nih.

Kembali ke Adele. Sejak jatuh cinta pada lagu Hometown Glory, sejak itu pulalah saya memutuskan untuk menjadi salah satu penggemar penyanyi cantik bertubuh tambun itu. Di saat orang-orang lebih senang mendengar Rihanna dan Katy Perry, saya merasa lebih nyaman dengan suara merdu Adele (jangan salah, saya suka Rihanna dan Katy Perry. Tapi Adele-lah yang paling membuat saya nyaman.). Kini, Adele telah menjadi mainstream. Ngerti maksud saya kan? Dan entah mengapa saya alergi pada hal-hal yang berbau mainstream. Saya juga bingung gimana menjelaskan ini. Ada rasa nggak suka saat sesuatu yang saya sukai juga disukai oleh begitu banyak orang. Bingung? Sama. Ya sudah, mending saya akhiri aja posting nggak jelas ini.

Singkatnya, saya sedang berpikir mencari pengganti Adele untuk sementara ini. Mencari penyanyi lain yang memiliki suara indah serta musik yang asik, namun nggak begitu memiliki banyak penggemar, alias nggak mainstream (apa sih dari tadi mainstream-mainstream melulu lo, Pan!).

Imogen Heap sepertinya oke. Atau ada referensi lain? :)


-11-

Selasa, 27 Maret 2012

Lost and Found: My Dompet!


Tadi pagi petir menyambar kamar kos saya. Saya syok plus panik tingkat kabupaten. Kenapa oh kenapa? Dompet saya hilang! Berkali-kali saya cari, di tas, di saku celana, di jaket kemarin yang saya pakai, hasilnya nihil. Where is it? Where is my fucking precious wallet? Padahal jam tangan digital saya beberapa menit lagi akan mentok pada angka 07.30. Jika nggak segera berangkat ke kantor, maka bisa dipastikan saya terlambat. Dan itu berarti tunjangan saya akan disunat. Argh. Panik panik panik!

Tenang, Pan, tenang..., batin saya. Saya memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, kemudian mencoba mengingat kapan dan di mana terakhir kali saya melihat dompet brengsek itu. Dan... aha, saya ingat!

Jadi, semalam saya dan dua teman saya makan malam di salah satu restoran cepat saji (ayam goreng tepung kw dua gitu). Dompet itu saya letakkan di atas meja, persis di bawah novel yang sedang saya baca (kenapa juga saya nggak manaruh dompet di saku celana seperti biasanya ya? Stupid me!). Ketika akan pulang, saya hanya mengambil novel di meja tanpa melihat dompet di bawahnya. STUPIIIID!!!

Kalau saya beruntung, dompet saya mungkin diamankan oleh karyawan restoran dan siap sedia kalau-kalau sang empunya dompet balik lagi, nanyain dompetnya yang ketinggalan. Tapi kalau saya sial, misalnya diambil pengunjung lain atau bisa jadi ditilep karyawannya sendiri, then I AM FUCKED! Duitnya ilang sih mungkin saya masih rela ya, tapi isi yang lain kayak ATM, kartu kredit, KTP, bukti transfer penting dsb, sumpah mati saya nggak relaaa.

Gue harus balik lagi ke restoran itu, pikir saya. Kalau pagi restorannya bukanya jam berapa ya? Takutnya kalau saya ke sana sekarang, restorannya masih tutup. Tapi itu dipikirin nanti deh. SAYA NYARIS TERLAMBAT KE KANTOR INIH! Untungnya ada teman kantor se-kos dengan saya yang juga baru mau berangkat. Yes! Nebeng motor sama dia ah.

Tiba di kantor, syukurlah nggak terlambat. Tunjangan saya nggak jadi disunat sekian persen. Tapi pikiran saya masih melayang memikirkan dompet cokelat sialan yang dengan begonya saya telantarkan itu. Singkat cerita, saya kembali minta tolong teman yang saya tebengi tadi untuk mengantar saya. Kebetulan, dia salah satu teman yang makan bersama saya semalam. Dalam hati saya berdoa, semoga-semoga-semoga dompet itu ada di sana. Pukul 8 pagi. Restorannya baru buka. Saya mengenali salah satu karyawan yang semalam melayani kami. Saya segera mendatanginya.
“Pagi, Mas,” senyum saya. Agak canggung, by the way.
“Oh. Pagi juga, Mas,” jawabnya.
“Gini, semalam saya sama teman saya,” saya menunjuk teman yang mengantar saya tadi, “makan malam di sini. Nah, dompet saya ketinggalan. Kira-kira Mas lihat nggak dompetnya?”
Dia mengangguk sambil tersenyum. “Namanya siapa, Mas?” tanyanya.
Saya menyebut nama saya.
“Oh, ada Mas. Sebentar ya, saya ambilin dulu.”
Fyuh. Saya lega bukan main. Begitu menerima dompet, saya mengecek isinya. Utuh. Oke, momen selanjutnya awkward banget. Saya bingung bagaimana harus berterima kasih. Mau ngasih duit, saya takut dia tersinggung (halah, bilang aja lo pelit, Pan!). Tapi ngucapin terima kasih doang rasanya kurang afdol. Ah, saya menemukan jalan keluar. Kenapa nggak sekalian saja beli sarapan di sini, bawa pulang? Solusi yang brilian bukan? Yeah, brilian my ass. Siapa tahu Mas-Mas itu justru lebih suka dikasih duit? Oke, abaikan sajalah. Setidaknya, restoran ini sudah mendapat kepercayaan penuh dari salah satu pelanggan mereka (saya, hehe). Next time bakalan sering makan-makan di sini deh. :D

Penutup:
Berkali-kali saya diingatkan bahwa tidak bijaksana menaruh segala macam kartu penting di dompet. (Yeah, lebih tidak bijaksana lagi meninggalkan dompet di atas meja. Bukan cuma nggak bijaksana, itu namanya BEGO!)

Akhirnya, saya lega seperti habis kentut karena nggak jadi lapor polisi. Ya Tuhan, bayangkan kalau dompet saya beneran hilang. Mau nggak mau saya harus ke kantor polisi kan? Sudah harapan ketemunya tipis, saya masih harus direpotkan oleh segala alur birokrasi yang bikin sakit hati.

Thanks to restoran cepat saji kw dua yang punya karyawan jujur. I owe you!


-11-

Senin, 26 Maret 2012

[Review Buku] Good Fight


 Judul: Good Fight
Penulis: Christian Simamora
Penerbit: Gagas Media
Terbit: Maret 2012
Tebal: 524 halaman
“Ngopi-ngopi pagi di atas ranjang sambil ngelanjutin baca Good Fight itu sesuatu banget,” status facebook saya Sabtu pagi kemarin.

Seseorang kemudian mengomentari status saya tersebut. Ega. “Gimana novelnya?” tulisnya.


“Novelnya? Bikin ge panas-dingin! Namanya juga novel dewasa sih ya. Banyak adegan hand to hand, mouth to mouth, aaand... body to body! Tapi cara berceritanya asik banget. Novelnya juga tebel, 500-an halaman gitu. Saking asiknya, udh mau halaman 400 nih. Lucu, kocak, ngegemesin. Lo mesti baca, Darl! Setting ceritanya juga keren banget: High Fashion Magazine gitu. Ih, jadi pingin pindah kerja gw. Haha.”

Yup, novel terbaru Christian Simamora ini memang te-o-pe be-ge-te! Setelah menunggu cukup lama akhirnya penantian saya terbayar sudah. Saya memang menyukai karya-karya Christian sejak duetnya bersama mbak Windy Ariestanty dalam novel Shit Happens (fyi, Shit Happens inilah yang sukses membuat saya menjadi penggemar setia dua penulis itu). Good Fight adalah novel ke-8 Chris setelah sebelumnya menerbitkan Pillow Talk. Sama seperti Pillow Talk, Good Fight masuk dalam kategori ‘novel dewasa’ berkat beberapa adegan panas yang bertebaran di novel ini (Good Fight malah lebih panas dari Pillow Talk lho [menurut saya]. Ehem!).

Novel yang sebagian besar mengambil setting di kantor majalah fashion bernama Mascara ini berkisah tentang Tere dan Jet, dua rekan kerja yang mempunyai hubungan buruk kayak Tom and Jerry. Setiap hari selalu bertengkar, saling ejek, saling menjatuhkan mental satu sama lain. Namun, tragedi terjebak di lift kantor akhirnya mengubah hubungan mereka. Ditambah lagi, mereka ternyata memiliki nasib yang sama: sama-sama menjadi kekasih simpanan. Kesamaan nasib tersebut membuat hubungan mereka yang tadinya kurang harmonis perlahan-lahan menjadi lebih akrab. Bahkan menjadi lebih… uhm, romantis??? Wait, wait… Tere nggak mungkin kan jatuh cinta sama Jet? Jet gitu loh, orang yang selama ini jadi musuhnya! Belum lagi, status mereka masing-masing masih sebagai simpanan orang kan? Tapi Tere nggak bisa membohongi hatinya sendiri, bahwa dia memang mulai ada rasa pada Jet, sebagaimana Jet yang memang sejak awal menaruh hati pada Tere.

Well, inti cerita novel ini memang sederhana. Tentang benci yang berubah menjadi cinta. Tentang musuh yang berubah menjadi kekasih. Meski sederhana, Chris mengemas novel ini dengan sangat menarik, segar, kocak, dan memesona. Ceritanya begitu mengalir, membuat novel setebal 500-an halaman ini begitu nikmat disantap (yeah, otak mesum saya cukup terpuaskan oleh setiap adegan panas di novel ini. Hahaha.). Inilah novel tebal pertama saya tahun ini yang saya habiskan dalam waktu begitu cepat (berbeda dengan Cewek Matre, yang sudah saya telantarkan karena sering ke-distract sama novel lain. Maafkan saya mbak Alberthiene Endah…).

Sayangnya (iya, sayangnya) masih terdapat beberapa typo di novel ini. Saya tak mencatat di halaman berapa saja, yang jelas kesalahan penulisan yang paling sering saya temui adalah penggunaan huruf kecil sesudah tanda baca titik. Mungkin untuk beberapa orang hal ini tak begitu mengganggu, atau bahkan tak disadari sama sekali. Tapi saya (entahlah, mungkin ini penyakit) sangat-sangat mendambakan ketiadaan cela dalam novel yang saya beli, apalagi dari penerbit besar macam Gagasmedia. Eww, saya mulai terdengar menyebalkan ya? Kalau begitu abaikan saja bagian ini.

Akhir kata. Saya memberikan 4/5 bintang untuk novel yang begitu menggigit ini. Ehem. Buat kamu, saya kasih spoiler ya: novel ini HAPPY ENDING! Buat yang belum punya, cepat-cepat beli sanah. Sayang banget kalau novel sebagus ini nggak dijadiin koleksi. :)


-11-

Selasa, 20 Maret 2012

Alamat Blog dan Angin Ribut

Hai. Ganti alamat blog lagi nih ceritanya. Nggak tahu ini untuk yang keberapa kalinya saya mengganti alamat blog. Kali ini saya menggunakan nama: kandangsebelas. Saya memang labil ya? *tertawa hambar*

Ini karena saya sering bertandang ke blog lama penulis favorit saya, Kak Windy. Menurut saya alamat blog Kak Windy cukup unik: kandangwindy. Ia menggunakan istilah ‘kandang’ sebagai representasi dari blog yang menjadi wadahnya untuk menuangkan isi kepalanya, alih-alih ‘rumah’, ‘teras’, ‘bilik’, atau apapun yang terdengar lebih umum. Maksud saya, bukankah kandang adalah tempat manusia mengurung hewan peliharaan atau ternak agar nggak ngeluyur kemana-mana? Tapi justru di sinilah letak keunikannya. Kak Windy dan kandangnya. Memang, hal-hal unik selalu lebih gampang diingat. Saya pun tertarik menggunakan istilah yang sama dengan Kak Windy. Wajar dong kalau saya ingin meniru apa yang menarik dari sosok favorit saya? Pinginnya sih, saya juga ingin meniru gaya menulis Kak Windy yang so-calm-but-so-deepitu. Sudah baca bukunya yang berjudul Life Traveler? Sungguh, setelah membaca buku terbarunya itu, saya makin cinta pada sosoknya yang sangat humanis.

Kembali ke topik alamat blog. Saya memutuskan menggunakan nama yang ada kandang-nya, maka jadilah kandangsebelas. Lalu, mengapa harus 11? Apa yang menarik dari angka tersebut? Karena 11 adalah angka keberuntungan saya. Berdasarkan numerologi tanggal lahir, hasil penjumlahan dari tanggal, bulan, dan tahun kelahiran saya adalah 11. Kandangsebelas = kandang saya, kandang keberuntungan saya. I hope so. :)

Cukup sudah membahas alamat blog. Sekarang, mari kita membahas cuaca (Cuaca? Kayak nggak ada hal lain yang lebih menarik saja!). Ya memang. Karena saya memang sedang nggak punya ide yang lebih brilian untuk entri kali ini. Habis, cuaca di Mataram lagi ganas-ganasnya sih. Hujan dan angin kencang menghantam kota yang saya diami selama hampir empat tahun ini. Dan seumur hidup, baru sekali ini saya merasakan horor akibat angin, sampai-sampai saya jadi susah tidur. Banyak pohon besar di tepi jalan raya kota Mataram yang tumbang oleh angin, bahkan ada yang menimpa kendaraan. Kemarin saya mendengar kabar orang meninggal akibat mobil yang dikendarainya tertimpa pohon. Juga beredar kabar bahwa di kabupaten sebelah banyak rumah yang atapnya diterbangkan oleh angin. Aduh, makin seram saja.

Pohon kenari di depan kantor saya termasuk salah satu pohon yang 'kalah' dan menyerah pada angin. Pohon itu roboh ke jalan raya di sore yang naas itu (halah). Kejadian ini tak memakan korban (selain sang pohon tentunya), namun sempat membuat jalanan macet. Saya dan yang lain makin khawatir. Yah, siapa sih yang nggak khawatir membayangkan ketiban pohon besar saat sedang asyik berkendara menuju rumah?


Dalam hitungan menit, pihak dinas pertamanan kota Mataram langsung membereskan masalah ini. Saya asyik menonton mereka memotong-motong batang dan ranting pohon dengan gergaji mesin kemudian mengangkutnya ke truk. Salah satu hal yang tidak kita lihat setiap hari. :)

Saya bersyukur malam ini gemuruh angin terdengar tak semengerikan malam-malam sebelumnya. Semoga cuaca segera membaik. Dan semoga tak ada lagi pohon roboh, atap melayang, dan kutang beterbangan. (Eh?)


-11-

Rabu, 14 Maret 2012

Postingan di Hari Putih

Happy White Day, guys… :)

Wait… White Day? Hari Putih?

Okeh, copas dari wikipedia nih:
White Day (ホワイトデー Howaito dē) (bahasa Indonesia: Hari Putih) adalah hari memberi hadiah untuk wanita yang jatuh tanggal 14 Maret. Perayaan ini berasal dari Jepang dan bukan tradisi Eropa atau Amerika. Hadiah berupa marshmallow atau permen diberikan sebagai balasan atas hadiah cokelat yang diterima pria sebulan sebelumnya di Hari Valentine. Di zaman sekarang, hadiah yang diberikan untuk wanita yang disenangi dapat berupa bunga, saputangan, perhiasan, atau barang-barang lain yang disukai wanita.

Pertama kali dirayakan tahun 1980 di Jepang, perayaan ini sekarang juga dirayakan di negara Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Indonesia. Perayaan Hari Putih berawal dari strategi koperasi produsen permen Jepang yang ingin meningkatkan penjualan permen. Bahan baku permen adalah gula yang berwarna putih sehingga disebut Hari Putih. Ide perayaan diambil dari "Hari Marshmallow" yang merupakan acara promosi kue marshmallow Tsuru no ko yang diadakan toko kue di kota Fukuoka.

Terus kenapa saya tiba-tiba membahas ini? Hmm. Tak bermaksud apa-apa sih. Mungkin karena tadi pagi saya membaca status facebook teman tentang White Day. Lagipula, saya kan tak punya kekasih untuk diberi sesuatu di Hari Putih ini. Juga, saya tak menerima cokelat dari siapapun ketika Valentine, jadi saya tak wajib memberikan ‘balasan’ apa-apa kepada siapapun. (Sounds like curhat ya? Hahaha.)

Bicara soal White Day, mau tak mau saya teringat Valentine’s Day Februari kemarin. Buat saya yang jomblo ini (sengaja diungkit-ungkit terus, kali aja ada yang kasihan dan mau jadi pacar saya. Hahaha), Valentine’s Day tak memiliki dampak lain selain rasa sirik melihat orang lain ber-romantis-ria bersama pasangan mereka masing-masing. Maka sebagai tameng kegalauan, saya menetapkan tekad: bahwa bagi saya, mengungkapkan kasih sayang tak seharusnya dilakukan saat Valentine’s Day saja! (Iyaaa, saya tahu kalimat itu basi banget). Meski begitu, tetap saja saya ingin mengucapkan selamat Valentine kepada seseorang. Akhirnya, yang beruntung mendapatkan ucapan spesial dari saya (halah), adalah seorang sahabat dekat saya. Yang kepadanya saya tak ragu menunjukkan diri sejati saya. Yang kepadanya saya sanggup memperdengarkan keluh kesah saya, sementara yang lain hanya mau melihat tawa gembira saya. Well, saat ini saya memang terdengar melankolis. Tapi jujur, ketika mengucapkan selamat Valentine kepada sahabat itu, hati saya begitu riang. Saya dipenuhi rasa syukur karena Tuhan begitu baik menitipkan orang seperti dia dalam hidup saya yang nyaris tak memiliki arah ini. Meski saya belum pernah sekalipun bertemu langsung dengan dia.

Kembali ke hari Valentine. Memang, saya tak mengharapkan mendapat cokelat maupun ucapan selamat (ingat kan, saya nggak punya pacar? Iya, diulang lagi. Haha). Tapi ternyata ada satu orang yang menelepon saya. Ibu saya. “Selamat hari Valentine ya, Nak,” ucap Ibu saya riang di seberang sana. Wow. Ibu saya memang keren! Dan sepanjang hari itu saya tak bisa berhenti tersenyum.

Karena saya punya Ibu yang keren dan seorang sahabat yang mau mendengarkan.

Thanks, God.


-11-

Kamis, 08 Maret 2012

[Review Buku] The Unknown: Melacak Pesawat Misterius (Animorphs #14)


Judul: The Unknown: Melacak Pesawat Misterius (Animorphs #14)
Penulis: Katherine Applegate
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 1999
Tebal: 158 halaman

Buku ini hadir dari kegiatan iseng membeli buku bacaan bekas secara online. Tapi seperti yang sering terjadi, buku ini tak langsung dibaca dan akhirnya lenyap entah ke mana (keselip doang sih). Hingga beberapa waktu yang lalu, pas lagi asik berbabu-ria (bersih-bersih kamar kos) saya menemukan buku ini di salah satu kardus tempat saya menaruh segala macam barang. Saya baca-baca sekilas... dan langsung jatuh cinta!

Para ABG tahun 90-an pasti tahu serial ini. Serial karya K.A. Applegate tersebut sama terkenalnya dengan Goosebumps-nya R.L. Stine. Tapi kala itu saya lebih gemar membaca Goosebumps ketimbang Animorphs. Saya lebih menyukai kisah horror dan tak begitu tertarik pada fiksi ilmiah. Seingat saya, satu-satunya seri Animorphs yang pernah saya baca adalah seri pertama, yang sekarang tidak saya ingat lagi detail ceritanya. Kini, setelah membaca seri ke-14 ini, saya justru jadi ingin membaca seri-seri sebelumnya, dan tentu saja, penasaran dengan seri selanjutnya… Dem!

Quick recap aja. Animorphs berkisah tentang enam ABG, terdiri dari lima manusia (Cassie, Marco, Rachel, Jake, Tobias) dan satu alien bernama Ax, yang berjuang secara rahasia untuk menyelamatkan bumi dari serbuan bangsa alien jahat yang disebut Yeerk. Berbekal kemampuan berubah wujud menjadi binatang, keenam anak manusia (plus alien) itu berusaha semampu mereka untuk menghentikan sepak terjang Yeerk. Dari mana mereka memperolah kemampuan ajaib itu? Hmmm… baca sendiri aja ya buku pertamanya. Atau gugling deh. *diinjak*

Seri ke-14 (yang saya temukan di kardus tadi) bercerita dari sudut pandang Cassie. Dikisahkan bahwa di kota sedang beredar rumor bahwa seseorang telah menemukan benda yang bisa membuktikan keberadaan alien dari planet lain. Benda tersebut di sembunyikan di sebuah markas yang disebut zona 91, yang kabarnya merupakan tempat paling rahasia di Bumi (saya jadi ingat Area 51). Cassie dan teman-temannya memang tahu ada kehidupan di planet lain dan mereka menyadari bahwa para Yeerk akan berusaha menyusup ke zona 91 untuk menyelidiki apakah benda rahasia tadi bisa menjadi ancaman bagi misi Yeerk di Bumi. Sekadar info, upaya para Yeerk menguasai Bumi dilakukan secara diam-diam, dengan cara merasuki manusia dan mengendalikan otak mereka. Para Yeerk tak ingin manusia mengetahui adanya kehidupan di planet lain. Cassie dan kawan-kawannya memutuskan untuk mampir ke zona 91. Tapi apa yang mereka temukan di sana sungguh di luar dugaan!

Wah, saya sukses meng-copas sinopsis di belakang cover bukunya! Haha. (Tentu dengan tambahan seperlunya)

Saya suka cara K.A. Applegate berkisah. Beliau senang memasukkan humor dalam dialog anak-anak Animorphs ini. Kalian bakalan ngakak deh, pada bagian saat Kapten dari zona 91 menangkap Cassie, Rachel, dan Marco dan menginterogasi mereka, saat Kapten menanyakan nama-nama mereka, jawaban yang diterima sang Kapten sungguh membuat saya terpingkal. Kemudian, cara sang pengarang mendeskripsikan proses morph anak-anak spesial ini cukup detail dan terkadang membuat saya bergidik membayangkannya. Top deh!

Tapi masih ada yang mengganjal di pikiran saya. Apakah baju-morph yang dikenakan Cassie dan kawan-kawan juga ikut berubah dan menyatu di badan binatang morph mereka? Maksud saya, bukankah lebih masuk akal jika baju yang mereka kenakan tak ikut berubah? Yah, mungkin karena ini buku bacaan remaja kali ya, jadi kurang pas rasanya saat mereka kembali ke tubuh manusia dalam keadaan telanjang.

Overall, saya suka buku ini. Mungkin karena isinya jauh lebih baik dari harapan saya.

3/5 bintang sepertinya cukup. ^^


-11-

Gambar diambil di sini.