Rabu, 05 September 2012

Kuntilanak dan Jailangkung

Halo. Ayem bek, Sodara-sodara. Hari ini, saya dengan biadabnya memutuskan kembali menyampah di blog ini lagi. Euh, lama nggak dikunjungi, ini rumah udah kayak sarang vampir aja. Tapi nggak juga ding, bagusan sarang vampir malah. Itu lho, sarang vampir keluarga Cullen, malah lebih bagus dari kondisi blog ini. Rumah mereka megah, besar, lega, sayang nggak ada tempat tidurnya. Kan sesekali saya juga kepingin gituh, nginep di rumah keluarga Cullen (dan berharap digigit biar jadi vampir juga. Hahaha). Ini gw ngemeng apaan sih?

Ehm. *tarik napas*
*nyalain rokok*
 *sedot*
 *embusin asap*
 *menatap cuek kerjaan yang menumpuk*

Iya, saat ini saya masih di kantor. Kerjaan segunung-gunung ditaroh Boss di meja kerja saya. Ya nggak mungkin juga saya komplain, secara memang sudah tugas saya. Cuma ya, dengan volume kerja yang segini banyak, rasa-rasanya kepala saya kayak mau meledak. Asli, kepingin banget marah-marah. Nggak tahu juga mengapa saya masih sulit menjaga mood. Playlist lagu-lagu favorit di mp3 player komputer bahkan sulit membawa kedamaian dalam hatiku (sedaaap). Mungkin karena saya melihat pembagian kerja di kantor ini nggak merata. Ada pegawai yang sudah kepayahan menangani kerjaannya, tapi yang lain malah seenak jidat datang telat (sudah ngabsen pagi-pagi), kerjaannya pun nyantai. Fyi, gara-gara kelakuan orang inilah, tugasnya sebagian diserahkan ke saya yang memang terkenal rajin… (silakan muntah, saya sudah duluan). Waktu dilimpahin tugas, saya sih iya-in aja. Bukan, bukannya saya sok imut atau berusaha menjilat pantat Boss (amit-amit!) tapi waktu mau ngelimpahin tugas ke saya, Bos melakukannya sambil setengah memohon. Sebetulnya saya bisa saja menolak, dengan alasan beban kerja saya sendiri sudah banyak. Tapi hati saya terlalu lemah. Akhirnya saya menerima tugas tambahan tersebut. Dan di sinilah saya, berakhir dalam tumpukan tugas-tugas yang mengharuskan saya lembur setiap hari sampai larut. Tumpukan novel yang belum saya baca jadi terbengkalai deh. Hiks.

Di saat-saat seperti ini, saya merasa beruntung punya teman-teman yang sanggup membuat hati riang, tanpa saya harus datang curhat ini-itu dan berharap mereka mempuk-puk saya. Sebetulnya sebutan ‘teman’ terlalu menyederhanakan. Sebenarnya, saya menganggap mereka sahabat yang hubungannya sama kuatnya dengan saudara sedarah. Iya, inti dari curhatan saya di sini adalah tentang mereka. Tentang betapa bersyukurnya saya dianugerahi teman-teman, ups, sahabat-sahabat, yang bisa saya percayai, yang kepada mereka saya bisa menjadi diri sendiri, bisa berucap sesuka hati tanpa takut menyinggung perasaan mereka, karena mereka tahu hati saya.

Sahabat-sahabat tersebut, adalah orang-orang yang bahkan belum pernah saya temui langsung di dunia nyata. Can you believe that? Mereka adalah orang-orang yang saya kenal lewat situs sejaring sosial dan hanya berinteraksi dengan mereka melalui media tersebut (semoga Tuhan memberkati para pengelola situs jejaring sosial). Mungkin sebagian orang akan menganggap saya naif, mungkin konyol, karena terlalu menganggap serius pertemanan di dunia maya. Tapi percayalah, apa yang saya rasakan (atau saya berani berkata: apa yang KAMI rasakan) adalah suatu hubungan yang lebih dari sekadar “teman pesbuk”, “teman twitter”, “teman Watsapp”, “teman chatting” dan sebagainya. Saya, paling tidak, adalah salah satu dari sekian banyak pengguna jejaring sosial yang merasa beruntung bisa mengenal orang-orang yang kepadanya bisa saya percayakan rahasia-rahasia saya, juga sebaliknya, saya dengan senang hati mendengarkan ungkapan perasaan mereka.

Jangan salah, saya bukannya nggak mempercayai teman-teman sekantor. Saya senang kok, membina hubungan yang baik, bahkan karib, dengan mereka. Hanya saja, untuk mendapatkan chemistry yang kuat itu nggak mudah. Di kantor, ada satu orang yang sering saya recoki (baca: curhat) tentang pendapat, buah pemikiran, bahkan kegelisahan-kegelisahan saya. Namun, entah mengapa ada bagian dalam diri saya yang merasa nggak sepenuhnya bebas dengan kondisi tersebut. Seolah saya seperti memiliki kontrol yang kelewat kuat untuk membuka diri terhadapnya. Beda halnya dengan yang saya rasakan terhadap dengan sahabat-sahabat saya tadi. Saya merasakan kenyamanan yang lebih, bahkan sebelum saya bertemu muka dengan mereka.

Kemarin, saat sedang makan malam dengan beberapa teman, salah satu dari mereka sempat menanyakan dua orang yang kelihatan sangat-kelewat-akrab-banget dengan saya di dunia maya. Dan coba tebak, mereka kaget saat tahu saya belum sekalipun bertemu dengan sahabat-sabahat saya itu. “Hah? Serius lo belum pernah ketemu mereka?” Saya hanya tersenyum dan mengangguk dengan anggun (abaikan bagian anggun-nya).

Well, saya nggak berharap melalui racauan ini, saya dapat mengubah pendapat orang lain tentang apa yang saya rasakan. Tapi setidaknya, saya ingin mengungkapkan rasa terima kasih saya kepada mereka. Saat berinteraksi dengan mereka tadi siang, sebagian besar beban pikiran saya seolah lenyap. Mungkin  mereka nggak tahu betapa tertekannya saya tadi. Betapa inginnya saya mengabaikan semua tugas dan tanggung jawab saya lalu pulang saja ke rumah dan tidur (bagaimanapun, saya nggak mungkin melakukan itu, hehehe). Tapi satu yang pasti, berkat mereka, semangat juang saya (halah) kembali lagi. Saya kembali mengerjakan tugas-tugas saya dengan senyum mengembang. Saking bahagianya, mata saya jadi berkaca-kaca...  dalam hati saya berucap, “Gawd, I really love them!” Saat mengetik ini pun, dada saya masih sesak oleh bahagia. Saya sempat menulis tweet tentang perasaan saya terhadap dua mahluk  itu. Sialan. Mungkin itu tweet ter-mellow saya awal September ini.

Sahabat tidak mengekang, hanya mengingatkan. Dan that’s what I love about them.

Jika saya punya lampu ajaib dan jin baik hati yang mau mengabulkan permintaan-permintaan saya, salah satu yang inginkan adalah semoga kebersamaan ini nggak pernah berlalu (yak, mari kita bernyanyi… “kemesraaan ini… janganlah cepat berlaluuu..” *dilempar toa*). Jelas saya ingin bertemu dengan mereka di dunia nyata. Namun tanpa bertemu pun, saya merasa mereka begitu dekat, seolah nggak terpisah jarak. Mereka seperti hanya tinggal beberapa meter dari rumah saya, dan kalau ingin, kami bisa bertemu kapan saja, walau nyatanya untuk bertemu betulan, kami harus melintasi laut dan zona waktu yang berbeda.

Jarak seolah tak terlihat, saat kau bisa menemukan sahabatmu, kapanpun kau membutuhkan mereka.

Teruntuk kuntilanak dan jailangkung, thanks for the sweetest times (sometimes, the hard times) that we spent together, although I never met you both in real life. Saya harap, semoga kita bahagia dengan kehidupan yang kita jalani masing-masing. *ambil tisu*