Minggu, 25 Juli 2010

Kamu Lagi (2)


Raditya Dika bilang, menulis menjawab kegelisahan. Apakah itu murni kalimatnya atau mengutip kalimat orang lain, yang jelas saya masih meragukannya. Menjawab kegelisahan apa? Menulis di sini, justru membuat saya semakin gelisah. Seolah mengorek luka yang belum lagi kering, kembali berdarah, dan perih. Menulis menjawab kegelisahan? Mungkinkah?


Saya sakit lagi. Kali ini pilek. Astaga, bulan ini saya benar-benar ngedrop. Jangan-jangan, kondisi badan saya yang mudah terserang sakit ini ada kaitannya dengan kondisi hati saya yang hancur-lebur beberapa waktu yang lalu? Mungkin kedengarannya berlebihan, tapi saya merasa demikian. Saya rasa hati saya belum pulih benar. Kepingan yang berserakan itu belum semuanya terkumpul. Baru sebagian saja.

Padahal saya sudah berusaha untuk melupakan dia. Tapi susah. Saya berupaya untuk mencari penggantinya, namun belum juga ketemu. Belum lama ini dia datang. Kembali saya dibuat trance. Pikiran saya seolah kosong. Konsentrasi saya terdahap pekerjaan menjadi buyar. Entah bagaimana raut wajah saya jika saat itu saya menatap cermin. Pucat, mungkin? Atau merah seperti kepiting rebus? Saya tidak tahu. Ketika dia mendatangi saya, saya berharap bos memanggil saya atau siapalah, sehingga saya punya alasan untuk pergi dari kursi saya yang tiba-tiba berubah jadi neraka itu. Tapi bos tidak memanggil saya. Tak ada seorangpun yang mengajak saya bicara… kecuali dia. Adegan tidak penting berikutnya adalah seputar usaha keras saya untuk bersikap wajar. Karena tiba-tiba saya lupa bagaimana caranya bersikap wajar.

Akhirnya dia pergi.

***

Iya, kamu pergi.

Kamu tidak tahu kan, bahwa kamu menjadi bahan perbincangan seru di antara teman-teman saya lewat fasilitas chatting? Ya, kamu dan saya. Ada yang mengolok-olok dirimu, berkata bahwa tampangmu biasa-biasa saja, bahwa saya selera saya rendah. Mereka bertanya kenapa saya tidak memilih salah satu di antara mereka saja, dan bukannya malah memilih dirimu yang—menurut mereka—"bertampang jutek itu". Tapi ada pula yang bereaksi biasa saja dan berkata, "Oh... dia. Hmm... lumayan."

Iya, mereka akhirnya tahu perasaan saya terhadap kamu. Hari itu, saat kamu datang, adalah hari di saat mereka tahu semuanya. Jadi tak aneh jika tiba-tiba kamu merasa di awasi, merasa... dinilai. Mereka mengawasimu. Mereka menilaimu. Karena mereka tahu saya. Mereka tahu tipe saya. Dan kamu, seharusnya bukan tipe saya.

Tapi kenyataan berkata lain, bukan? Kenyataannya, saya suka kamu. Saya cintai kamu apa adanya. Meski kamu tak pernah tahu, tentu saja. Bodohnya saya.

Saya sudah mengambil keputusan. Karena kamu tak akan pernah menjadi milik saya, sudah saatnya saya melupakan kamu. Seharusnya saya melakukan ini dari kemarin-kemarin. Hanya saja, saya tak pernah benar-benar ikhlas melakukannya.

Kini saya mencoba ikhlas. Meski sekarang rasanya seperti mengorek luka yang belum lagi kering, tapi rasanya seperti mengorek luka dengan alkohol. Membersihkannya hingga benar-benar steril (bayangkan betapa perihnya!), kemudian membubuhinya dengan obat luka, dan terakhir, menutupnya dengan kain kassa. Dan suatu saat nanti, saat membuka kain kassa itu, luka saya sudah benar-benar kering.

Dan kamu sudah hilang dari otak saya.

Semoga.

***


-11-

PS: Sudah baikan dengan Beruang Putih saya. Usahanya yang gigih untuk mengajak saya berdamai akhirnya meluluhkan hati saya. Sejak kemarin, tak henti-hentinya dia membuat saya tertawa. :)

Minggu, 18 Juli 2010

Kamu Lagi


















Niat saya semalam itu ingin senang-senang. Ingin have fun.
Tapi mengapa saya harus bertemu denganmu?

Mengapa dari sekian banyak tempat, saya justru bertemu kamu di sana?

Tahu tidak, saya sakit sekali saat melihat kamu menggandeng mesra dirinya?


Ah, niat saya untuk bersenang-senang malah berakhir duka.

Mood saya hancur berantakan. Bahkan hingga pagi ini.

Belum juga pulih rasa syok saya melihat benda berkilau di jari manismu beberapa hari yang lalu, kini saya dipaksa lagi menelan pil pahit untuk kesekian kalinya.


Semalam, saya nanya bisa tersenyum.

Kamu tidak tahu kan, bahwa senyum saya itu sangat dipaksakan?

Kamu tidak tahu kan, bahwa saya benci melihatmu bersamanya?


Ya. Kamu tidak tahu.
Sampai kapanpun, kamu tak akan pernah tahu.


-11-

Jumat, 16 Juli 2010

Masalah Hati

Lama juga nggak update. Kangen. Kalau ada yang harus disalahkan, maka saya akan menyalahkan mainan baru saya, si Gemini. Sejak punya dia saya jadi jarang online dari laptop. Kerjaan saya melulu chatting, BBM-an, fesbukan, semua saya lakukan dari mainan saya itu. Saya jadi lupa ngeblog dan blogwalking. Haha. Dan… astaga, ternyata saya adalah salah satu dari sekian banyak orang yang membeli barang bukan karena butuh, tapi karena ingin. :P *tutup muka pake kemoceng*

Saya sedang sakit. Setelah maag menyerang saya tanpa ampun, kemudian diare yang membuat saya capek bolak-balik ke toilet, kini giliran hati saya yang sakit. Hiks. Iya, saya lagi patah hati. Parahnya, saya sedang patah hati kepada seseorang yang bahkan saya kenalpun tidak. Saya suka dia, tapi dia (sangat mungkin) tidak menyukai saya. Kalau mengutip kata-kata Raditya Dika, saya adalah salah satu orang yang ‘jatuh cinta diam-diam’, merasakan cinta secara diam-diam, merasakan cemburu secara diam-diam, merasakan sakit secara diam-diam. Dan akhirnya, patah hatipun diam-diam. Bentar lagi saya gantung diri diam-diam. Ah…

Siapa orang itu?

Di akhir posting saya sebelumnya, saya sempat mengungkit sedikit tentang seseorang yang mirip dengan beruang putih saya. Ya. Diam-diam, saya mulai menyukainya. Mengharapkan kedatangannya. Memperhatikan caranya tersenyum. Bahkan di saat ia diam dengan wajah mengantuk pun, ia terlihat memesona. Oya, satu lagi: dia single. Hmm. Yummy.

Betapa hancurnya hati saya ketika kemarin melihat cincin kawin di tersemat indah di jari manisnya. Saya segera mengecek database lewat komputer kantor. Statusnya telah berubah: menikah. Duh Gusti, adahal dia bukan siapa-siapa saya. Tapi dada ini rasanya sesak sekali. Seperti dijejal berton-ton batu bara; sesak dan panas. Seperti itu ya rasanya? Tak tahulah. Yang jelas sakit banget.

Yang lebih sakit lagi, saya sedang berantem dengan si Beruang Putih.

Ah…

-11-

Gambar diambil di sini.

Jumat, 02 Juli 2010

Empati

Saya nyaris ngamuk-ngamuk di KFC.

Oke. Nggak segitunya sih.

Ceritanya, tiga hari yang lalu saya makan malam di restoran cepat saji yang saya sebutkan di atas bersama seorang teman. Saya mengantri untuk memesan menu kami. Sialnya, baris antrian saya rupanya dilayani oleh gadis yang kinerjanya super duper lelet. Gimana nggak, di antrian sebelah sepertinya lancar-lancar saja, di tempat saya kok malah nggak bergerak sama sekali? Padahal ibu didepan saya sepertinya nggak memesan menu yang ribet deh (toh menunya itu-itu juga). Tapi gadis ini sepertinya kewalahan. Saya sih maunya sabar, tapi karena perut sudah menjerit merdu, ditambah melihat orang-orang yang baru datang langsung dilayani di antrian sebelah, lama-lama saya kesal juga. Sempat terpikir untuk pindah antrian, tapi saya memilih untuk bertahan sambil memendam rasa dongkol. Awas ya, gue bakal ngasih komentar pedas atas pelayanan kurang memuaskan ini!

Tiba giliran saya. Saya menatap si gadis layaknya seorang pembunuh berdarah dingin (Ryan Jombang?) yang menatap calon korbannya. Baru saja saya akan memuntahkan kata-kata, tapi si gadis mendahului menyapa saya dengan ramah. Meski terlihat capek, ia tetap memaksakan senyum dan bertanya penuh perhatian, “Selamat malam, Mas. Maaf, mau makan di sini atau dibawa pulang?” Melihat wajah letihnya, rasa dongkol yang sedari tadi memenuhi rongga dada saya tiba-tiba lenyap. Iya, secepat itu.

Saya seperti bisa mengerti kedaannya. Saya berpikir, mungkin saja dia karyawan baru. Atau mungkin dia kecapekan setelah sekian lama berdiri melayani begitu banyak konsumen yang ingin menikmati hidangan cepat saji di restoran itu. Ah, kejamnya saya. Meskipun ekspresi wajah saya telah melunak, sayangnya saya masih kelaparan. Jadi ketika menyebutkan menu pesanan saya, tak ada senyum yang bisa saya berikan (cukup duit saja ya, Mbak. Hehe). Yeah, minimal saya nggak mengeluarkan komentar pedas kan? :p

Saya akhirnya paham (atau setidaknya berusaha untuk paham) posisi si gadis. Jelek-jelek begini, saya menempati salah satu posisi front office di tempat saya bekerja. Posisi yang membuat saya harus berhadapan langsung dengan mitra kerja (stakeholder) dengan karakter yang berbeda-beda. Saya pernah mengalami saat-saat dimana saya kewalahan menangani begitu banyak stakeholder, sementara di antara mereka ada yang nggak sabaran, ngeyel, dan sebagainya. Meski begitu, saya harus sabar dan tetap berusaha melayani mereka sebaik mungkin. Tapi namanya juga manusia, ada saat dimana saya nggak bisa membendung emosi yang akhirnya membuat saya tidak bisa memberikan pelayanan terbaik.

Berempati memang perlu, bahkan harus. Tapi, kalau dipikir-pikir, empati yang hanya dilakukan oleh salah satu pihak saja rasanya kok nggak adil ya? Misalnya, saya berusaha untuk memahami mitra kerja yang datang, mencoba menempatkan diri dalam posisi mereka yang sudah capek-capek ke kantor saya, duduk lama mengantri, berharap pelayanan terbaik dari saya, dan seterusnya. Tapi, apakah saat itu mereka mencoba memahami posisi saya? Ketika saya harus melayani mereka sebaik-baiknya meski saya stuck di tempat saya selama berjam-jam, kadang sampai menahan kencing meski sudah sangat kebelet? Apakah mereka memikirkan itu?

Mungkin iya.

Mungkin juga tidak.

Who knows?


-11-

PS: Oya, ada mitra kerja yang mirip dengan Beruang Putih saya. Dan saya sadar, ternyata saya selalu menanti kedatangannya. Damn!