Rabu, 22 September 2010

Kembali Setelah Kecelakaan

Tulang selangka kanan saya patah gara-gara kecelakaan motor. Selangka, bukan selangkangan.

Peristiwa itu terjadi di suatu sore, menjelang magrib, ketika saya pulang dari swalayan. Motor saya menyerempet motor lain di depan saya yang tiba-tiba belok tanpa ngasih aba-aba, alias nggak nge-reting. Ketika itu saya melaju dengan kecepatan lumayan tinggi (70-80, maybe, nggak ingat juga), dan saat motor saya beradu dengan motor di depan saya itu, saya jadi kehilangan kendali. Saya oleng dan terhempas ke jalan. Kepala dan tubuh kanan saya menghantam aspal. Untung saya pakai helm, sehingga benturan di kepala agak sedikit teredam. Tapi bahu kanan saya patah. Waktu itu sih, saya nggak tahu kalau bahu saya patah. Rasanya memang sakit dan lengan kanan saya nggak bisa digerakin. Saya berusaha menyeret pantat saya ke tepi jalan. Motor yang saya serempet kelihatannya nggak apa-apa. Malah pengendara motor yang saya senggol itu lebih mengkhawatirkan keadaan saya. Saya diberi minum air putih oleh seseorang (lucky me, saya jatuhnya di dekat warung makan, hehe. Kenapa nggak pesan ayam goreng aja ya sekalian?). Setelah minum, perasaan saya jadi sedikit tenang. Dengan sisa tenaga yang saya miliki (lebai), saya kemudian menelpon Tuan Muda.

Di rumah sakit Sitti Hajar Mataram, saya dirontgen. Hasil rontgen memperlihatkan pemandangan yang lumayan membuat saya mual sekaligus excited. Saya patah tulang! Oh God, akhirnya saya ngalamin yang namanya PATAH TULANG! Clavucula (tulang selangka) kanan saya patah di dua titik. Yang satu bengkok, satunya lagi lepas dan ringsek ke dalam, membuat bahu saya jadi kelihatan pendek sebelah. Malam itu saya terpaksa menginap di rumah sakit. Saya dipasangi infus dan hidung saya dipasangi selang oksigen karena nggak bisa napas (ini pertama kalinya saya diinfus! Juga pertama kalinya saya dipasangi oksigen! Yey!), dan diberi obat untuk mengurangi rasa sakit, yang sayangnya nggak begitu ngefek. Saya kesakitan semalaman.

Tuan Muda dan Winner berjaga malam itu. Tuan Muda nggak bisa tidur, karena setiap kali mendengar saya merintih, dia langsung bangun dan berusaha sebisa mungkin membuat saya nyaman dengan posisi tidur saya, which is, mau posisi bagaimanapun tetep aja nggak ada nyaman-nyamannya sama sekali. Mau napas aja susah, dada dan pinggang kanan bagai ditusuk-tusuk pisau (patah tulang itu sakit sekali, kawan!). Sementara Winner? Dia tidur pulas ala sleeping beauty. Let’s kill him!

Well, dokter ahli tulang (masih muda, ganteng lagi, hehe) di RS itu menyarankan saya untuk melakukan operasi. Saya menyetujuinya, meski orang tua saya belum tahu kejadian ini. Saya memang belum sempat—ralat, TIDAK INGIN—memberi tahu mereka. Setidaknya sampai saya sembuh. Saya nggak mau mereka khawatir, terutama Mom. Namun, setelah berdiskusi dengan beberapa rekan kantor, termasuk bos dan salah satu senior, Bang Beng, yang pernah mengalami kejadian yang sama (kecelakaan motor + patah tulang bahu), saya mempertimbangkan saran mereka untuk nggak dioperasi, melainkan diurut ke tukang urut tulang. Awalnya saya agak ragu. Tukang urut tulang? Membayangkan tulang saya digeser-geser ke posisinya semula rasanya kok serem ya. Kebayang dong sakitnya kayak apa, apalagi tanpa bius. Ugh!

Bang Ben meyakinkan saya bahwa sakit saat diurut nggak separah yang saya bayangin. Dan lagi, jika diitung-itung, banyak juga biaya yang harus dihabiskan untuk operasi. Operasa pertama untuk pemasangan pen di tulang, operasa kedua untuk ngelepas pen, belum lagi kalau saya nggak masuk kantor yang berarti gaji saya akan dipotong. Bakal habis berapa duit tuh (berapa ya? Malas ngitung ah). Sementara di tukang urut tulang, menurut Bang Ben, proses penyembuhannya jauh lebih cepat, dengan biaya lumayan terjangkau. Hmm… pikir-pikir-pikir, dan… saya setuju ke tempat tukang urut tulang! Saya orangnya nggak mau rugi sih. Hehe. Maka Pak Bajra, mewakili pihak keluarga dari saya untuk mengurus pembatalan operasi (saya nggak nanya-nanya prosenya kayak apa).

Siang besoknya saya dibawa ke tukang urut tulang di daerah Mapak, Mataram. Dan, benar apa yang dibilang Bang Ben. Proses urut tulangnya terbilang cepat, dan hanya sedikit rasa sakit. Nggak semengerikan yang saya duga deh. Pak Haji, sang tukang urut, orangnya kocak. Saya diajak ngobrol dan sebelum saya sadari, beliau menarik lengan kanan saya dengan cepat, memutarnya sedemikian rupa, dan terdengarlah suara krek mengerikan di bahu saya. Rupanya itu suara tulang yang ‘dipaksa’ kembali ke posisinya. Saya meringis sambil mememjamkan mata, dan…

“Sudah, Mas.” kata Pak Haji.

“Hah? Sudah?” tanya saya, nggak yakin. “Kok cepat sekali?”

“Ya memang seperti itu,” jawab beliau sambil tersenyum. “Hanya saja,” tambahnya, “saya hanya menyambung bagian tulang yang lepas. Sementara bagian yang bengkok, bisa sih saya luruskan, tapi prosesnya akan lebih sakit dari yang tadi. Bagimana, Mas, mau dilurusin?”

Saya ragu-ragu “Uhm, kalau misalnya nggak dilurusin, ada efek buruknya nggak?” tanya saya takut-takut.

“Sebenarnya nggak ada. Mas bisa beraktifitas seperti biasa. Asal jangan terlalu berat.”

“Kalau gitu biarin sajalah, Pak Haji. Ini sudah lumayan enakan kok.”

Pak Haji kembali tersenyum mendengar perkataan saya. Beliau kemudian mengoleskan obat tradisional andalannya (aromanya nggak banget, by the way) ke bahu saya dan membebatnya. Saya diminta tetap ‘kontrol’ ke beliau dua kali seminggu, selama sebulan atau lebih, setidaknya sampai tulang saya benar-benar sembuh total.

Sebulan kemudian saya ambil cuti untuk pulang kampung. Kebetulan saat itu bertepatan dengan libur lebaran. Saat sedang santai dengan Mom, saya menceritakan perihal kecelakaan yang saya alami. Saya memperlihatkan ke beliau bagian tulang yang menonjol sedikit, bagian clavicula kanan yang bengkok itu. Seperti yang sudah saya duga, Mom terlihat syok dan nyaris menangis. “Kenapa kamu nggak cerita sama Mama? Padahal Mama telpon selama ini, kamu ngakunya baik-baik saja. Kamu nggak mau Mama khawatir ya? Berarti feeling Mama memang benar…”

Hah? Feeling?

Mom menceritakan mimpinya. Tepat sebulan yang lalu. Beliau mimpi saya mengalami kecelakaan motor dan bagian tubuh sebelah kanan saya berlumuran darah. Beberapa hari kemudian Mom menelepon saya untuk menanyakan kabar. Ketika menerima telpon dari beliau, saya baru pulang dari Mapak. Saat itu saya berusaha terdengar ceria di telpon, mengatakan bahwa saya baik-baik saja. Mom nggak menceritakan mimpinya itu dan lega ternyata saya nggak kenapa-kenapa.

Saya berusaha untuk meyakinkan beliau bahwa saya baik-baik saja. Mom melarang saya untuk naik motor lagi. Saya tertawa, karena beberapa hari sebelum pulang kampung, saya sempat main ke rumah Mas Agus dengan mengendarai motor, untuk ikut acara buka puasa bersama (meski saya nggak puasa sama sekali, hehe). Padahal kondisi bahu saya kala itu masih dibebat kain kassa. Trauma? Hmm… iya, dikit. Saya nggak berani ngebut lagi. Saya janji ke Mom untuk lebih berhati-hati, tapi Mom tetep aja manyun. Yaelah.

Saat mengedit tulisan ini, keadaan saya sudah jauuuuh lebih baik. Meski hingga hari ini saya nggak pernah tidur menyamping ke kanan (nggak nyaman sih), tapi selebihnya, saya merasa sehat. Dan saya selalu ingat pesan Pak Haji untuk nggak melakukan pekerjaan dan olah raga berat. Misalnya angkat besi atau mendorong truk, mungkin?

Btw, ngapain juga saya harus ngangkat besi dan ngedorong truk ya?


-11-

Gambar diambil di sini.

Selasa, 17 Agustus 2010

Mer-de-ka-?



"Merdeka! Merdeka! Merdeka!"

Seruan itulah yang bergema di telinga saya seharian ini sampai-sampai saya muak. 17 Agustus memang momen yang tepat bagi rakyat Indonesia untuk kembali meneriakkan kata penuh semangat tersebut. Kenyataannya memang benar, pada tanggal yang sama, 65 tahun yang lalu, Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan negara ini.

Meski begitu, banyak juga yang masih mempertanyakan “Apakah Indonesia benar-benar telah merdeka?” Well, terserah. Saya tidak terlalu peduli.

Hari saya ingin egois. Hari ini, ingin saya mempertanyakan kemerdekaan saya sendiri. Apakah saya sudah merdeka? Dengan berat hati saya terpaksa menjawab: BELUM. Saya belum merdeka. Hati saya belum sepenuhnya merasakan arti sebuah kemerdekaan.

Bagi saya, merdeka adalah kebebasan untuk menjadi diri sendiri, apa adanya. Merdeka, adalah kebebasan untuk menentukan keyakinan saya sendiri, kebasan untuk menentukan kebahagian saya sendiri. Dan saya belum mengalami kemerdekaan itu. Tepatnya, saya belum berani meraihnya.

Saya ingin merdeka, tapi tidak di sini.

Mungkin saya hanya perlu lebih bersabar.


-11-

Gambar diambil di sini.

Kamis, 12 Agustus 2010

[Semacam Review] Tiga Orang Bego a.k.a Three Idiots


Pertama-tama saya ingin mengucapkan, “Selamat Menjalankan Ibadah Puasa.”

Sedikit pesan: Kurangi dosa selama puasa yah. Saya sih nggak puasa, jadi tetap bisa bikin dosa seperti biasanya. Wakakakakakak. *PLAK!*

***

Ternyata lama juga nggak update. Sebenarnya ada kejadian yang berhubungan dengan hati. Uhm… tadinya mau di-share di sini, tapi setelah dibaca-baca lagi, rasanya seperti membaca diary abege. Urung deh.

Bahas film aja yah.

Salah satu penyebab saya lama mengupdate blog ini karena saya sedang tergila-gila pada film India berjudul Three Idiots. Sejak pertama kali menontonnya sekitar dua minggu yang lalu, saya terus menontonnya berulang-ulang setiap malam. Entah menontonnya secara full, atau sekadar melihat-lihat adegan tertentu saja.

Teman-teman mungkin udah pada nonton ya? Bagi yang belum, segeralah tonton. Dijamin nggak bakal nyesel. Saya aja sempat underestimate. “Ah, film India…,” pikir saya. Padahal sudah berbulan-bulan yang lalu Tuan Muda menyuruh saya menonton film itu, sejak saya mengeluh tidak ada film yang bisa membuat saya menangis termehek-mehek. Setelah menontonnya, saya menyesal: KENAPA BARU DITONTON SEKARANG?

Well, saya payah menulis review, jadi saya singkat saja. Film ini bercerita tentang dua orang sahabat (Farhan dan Raju) yang mencari sahabat lama mereka yang menghilang sejak 10 tahun yang lalu. Setelah mendapat informasi di mana tempat tinggal sahabat mereka yang bernama Rancho (diperankan oleh Aamir Khan) tersebut, maka dimulailah perjalanan panjang dan berbahaya untuk mencarinya. Sambil mencari sahabat mereka, kisah pun bergulir secara flash back, dinarasikan oleh Farhan; tentang pertemuan pertama mereka dengan Rancho, tentang suka-duka semasa kuliah, tentang persahabatan mereka, dsb, dsb.

Film ini sarat akan pesan moral, juga kritik tentang sistem pendidikan di India (yang saya rasa, tidak jauh berbeda dengan Indonesia). Adegan-adegan di film ini luar biasa kocak, dialog-dialongnya smart, namun bisa sangat mengharukan—membuat saya ngakak, menangis, lalu ngakak lagi, lalu menangis lagi… gitu terus sampe kiamat. Untungnya, Three Idiots adalah ‘film India’ sehingga beberapa adegan yang agak lebai cukup bisa dimaklumi. Bagaimanapun, film ini sangat-sangat bagus. Beberapa review yang saya baca di internet menyebutkan bahwa film ini layak disebut sebagai salah satu film India terbaik sepanjang masa. Mantap kan? Saking bagusnya, film yang berdurasi sekitar 2 jam 43 menit ini jadi terasa sebentar saja bagi saya.

Sudah lama sekali saya tidak menonton film yang mengaduk-aduk emosi. Terakhir kali menonton film India yang membuat saya menangis bombay, adalah saat menonton Kuch-Kuch Hota Hai (udah deh, kamu juga pernah nonton kan?). Memang fenomenal sekali film itu. Yang saya kagumi dari aktor dan aktris India, mereka sering berperan menjadi karakter yang umurnya jauh lebih muda dari usia mereka yang sebenarnya, dan sepertinya cocok-cocok saja tuh.

Back to Three Idiots, saking cintanya dengan film ini, saya sampai mendonwload lagu soundtracknya. Lagunya bagus-bagus sih. Ada juga lagu yang bisa membuat mata saya berkaca-kaca, karena saya ingat betul bahwa lagu itu muncul di adegan yang menguras air mata saya. Karena nggak mengerti bahasa India, saya memanfaatkan jasa om google untuk mencari terjemahan liriknya ke dalam bahasa Inggris. Ternyata ada blogger yang menerjemahkannya. Setelah tahu makna dari lagu tersebut, air mata saya nggak bisa dibendung lagi. Astaga!

Saya memang mudah menangis hanya karena sebuah film. Tapi jangan salah. Justru karena tidak pernah menangis dalam menghadapi pahitnya hidup ini (ceileee), maka saya butuh sesuatu yang bisa menjadi pemicu agar air mata saya jatuh. Dari menonton filmlah saya bisa menangis. Entah mengapa, setelah menangis, rasanya lega sekali. Meski yang saya tangisi bukanlah diri saya, tapi saya benar-benar lega.

Three Idiots resmi menjadi salah satu film favorit saya. Juga menjadi film yang paling sering saya tonton. Bayangkan: setiap hari, selama dua minggu.
Agak lebai memang, tapi itulah saya. Haha.


-11-

Kamis, 05 Agustus 2010

BCL

Ada kejadian lucu barusan.

Mas Bimo, bosnya Susno, bertanya kepada saya tentang lagu
nya Bunga Citra Lestari yang sedang saya putar di komputer saya.

Mas Bimo: Judul lagunya opo, Det?

Saya: Ehm... perlu ya saya
kasih tau, Mas?

Mas Bimo: Ya perlulah.
Orang saya tanya kok.

Say
a: (menjawab malu-malu) Karena Kucinta Kau, Mas...

Mas Bimo ngakak
menyadari kekeliruannya. Saya nyengir. Satu ruangan langsung rame. :D


-11- 

Rabu, 04 Agustus 2010

Aal izz well...

Pagi-pagi, kepala saya sudah dibuat panas. Seorang pegawai senior sedang menjelek-jelekkan saya di depan teman-teman. Dia nggak tahu kalau saya berada di persis belakangnya, merokok, memperhatikannya.

Dia segera berhenti setelah menyadari kehadiran saya. Saya sangat emosi. Saking emosinya, saya sampai nggak bisa berkata-kata. Saya cuma memandangnya tajam, sementara dia terlihat salah tingkah.

Saya akui saya memang banyak kekurangan dalam bekerja. Tapi jika diomongin di belakang seperti ini, rasanya kok gimana ya. Apa nggak bisa ngomong langsung di depan saya? Takut? Nggak punya nyali?

Masih terus menatapnya, saya menunggunya berkata-kata lagi.

Tak ada sepatah katapun yang keluar.

Kemudian dia pergi.


-11-

Minggu, 25 Juli 2010

Kamu Lagi (2)


Raditya Dika bilang, menulis menjawab kegelisahan. Apakah itu murni kalimatnya atau mengutip kalimat orang lain, yang jelas saya masih meragukannya. Menjawab kegelisahan apa? Menulis di sini, justru membuat saya semakin gelisah. Seolah mengorek luka yang belum lagi kering, kembali berdarah, dan perih. Menulis menjawab kegelisahan? Mungkinkah?


Saya sakit lagi. Kali ini pilek. Astaga, bulan ini saya benar-benar ngedrop. Jangan-jangan, kondisi badan saya yang mudah terserang sakit ini ada kaitannya dengan kondisi hati saya yang hancur-lebur beberapa waktu yang lalu? Mungkin kedengarannya berlebihan, tapi saya merasa demikian. Saya rasa hati saya belum pulih benar. Kepingan yang berserakan itu belum semuanya terkumpul. Baru sebagian saja.

Padahal saya sudah berusaha untuk melupakan dia. Tapi susah. Saya berupaya untuk mencari penggantinya, namun belum juga ketemu. Belum lama ini dia datang. Kembali saya dibuat trance. Pikiran saya seolah kosong. Konsentrasi saya terdahap pekerjaan menjadi buyar. Entah bagaimana raut wajah saya jika saat itu saya menatap cermin. Pucat, mungkin? Atau merah seperti kepiting rebus? Saya tidak tahu. Ketika dia mendatangi saya, saya berharap bos memanggil saya atau siapalah, sehingga saya punya alasan untuk pergi dari kursi saya yang tiba-tiba berubah jadi neraka itu. Tapi bos tidak memanggil saya. Tak ada seorangpun yang mengajak saya bicara… kecuali dia. Adegan tidak penting berikutnya adalah seputar usaha keras saya untuk bersikap wajar. Karena tiba-tiba saya lupa bagaimana caranya bersikap wajar.

Akhirnya dia pergi.

***

Iya, kamu pergi.

Kamu tidak tahu kan, bahwa kamu menjadi bahan perbincangan seru di antara teman-teman saya lewat fasilitas chatting? Ya, kamu dan saya. Ada yang mengolok-olok dirimu, berkata bahwa tampangmu biasa-biasa saja, bahwa saya selera saya rendah. Mereka bertanya kenapa saya tidak memilih salah satu di antara mereka saja, dan bukannya malah memilih dirimu yang—menurut mereka—"bertampang jutek itu". Tapi ada pula yang bereaksi biasa saja dan berkata, "Oh... dia. Hmm... lumayan."

Iya, mereka akhirnya tahu perasaan saya terhadap kamu. Hari itu, saat kamu datang, adalah hari di saat mereka tahu semuanya. Jadi tak aneh jika tiba-tiba kamu merasa di awasi, merasa... dinilai. Mereka mengawasimu. Mereka menilaimu. Karena mereka tahu saya. Mereka tahu tipe saya. Dan kamu, seharusnya bukan tipe saya.

Tapi kenyataan berkata lain, bukan? Kenyataannya, saya suka kamu. Saya cintai kamu apa adanya. Meski kamu tak pernah tahu, tentu saja. Bodohnya saya.

Saya sudah mengambil keputusan. Karena kamu tak akan pernah menjadi milik saya, sudah saatnya saya melupakan kamu. Seharusnya saya melakukan ini dari kemarin-kemarin. Hanya saja, saya tak pernah benar-benar ikhlas melakukannya.

Kini saya mencoba ikhlas. Meski sekarang rasanya seperti mengorek luka yang belum lagi kering, tapi rasanya seperti mengorek luka dengan alkohol. Membersihkannya hingga benar-benar steril (bayangkan betapa perihnya!), kemudian membubuhinya dengan obat luka, dan terakhir, menutupnya dengan kain kassa. Dan suatu saat nanti, saat membuka kain kassa itu, luka saya sudah benar-benar kering.

Dan kamu sudah hilang dari otak saya.

Semoga.

***


-11-

PS: Sudah baikan dengan Beruang Putih saya. Usahanya yang gigih untuk mengajak saya berdamai akhirnya meluluhkan hati saya. Sejak kemarin, tak henti-hentinya dia membuat saya tertawa. :)

Minggu, 18 Juli 2010

Kamu Lagi


















Niat saya semalam itu ingin senang-senang. Ingin have fun.
Tapi mengapa saya harus bertemu denganmu?

Mengapa dari sekian banyak tempat, saya justru bertemu kamu di sana?

Tahu tidak, saya sakit sekali saat melihat kamu menggandeng mesra dirinya?


Ah, niat saya untuk bersenang-senang malah berakhir duka.

Mood saya hancur berantakan. Bahkan hingga pagi ini.

Belum juga pulih rasa syok saya melihat benda berkilau di jari manismu beberapa hari yang lalu, kini saya dipaksa lagi menelan pil pahit untuk kesekian kalinya.


Semalam, saya nanya bisa tersenyum.

Kamu tidak tahu kan, bahwa senyum saya itu sangat dipaksakan?

Kamu tidak tahu kan, bahwa saya benci melihatmu bersamanya?


Ya. Kamu tidak tahu.
Sampai kapanpun, kamu tak akan pernah tahu.


-11-

Jumat, 16 Juli 2010

Masalah Hati

Lama juga nggak update. Kangen. Kalau ada yang harus disalahkan, maka saya akan menyalahkan mainan baru saya, si Gemini. Sejak punya dia saya jadi jarang online dari laptop. Kerjaan saya melulu chatting, BBM-an, fesbukan, semua saya lakukan dari mainan saya itu. Saya jadi lupa ngeblog dan blogwalking. Haha. Dan… astaga, ternyata saya adalah salah satu dari sekian banyak orang yang membeli barang bukan karena butuh, tapi karena ingin. :P *tutup muka pake kemoceng*

Saya sedang sakit. Setelah maag menyerang saya tanpa ampun, kemudian diare yang membuat saya capek bolak-balik ke toilet, kini giliran hati saya yang sakit. Hiks. Iya, saya lagi patah hati. Parahnya, saya sedang patah hati kepada seseorang yang bahkan saya kenalpun tidak. Saya suka dia, tapi dia (sangat mungkin) tidak menyukai saya. Kalau mengutip kata-kata Raditya Dika, saya adalah salah satu orang yang ‘jatuh cinta diam-diam’, merasakan cinta secara diam-diam, merasakan cemburu secara diam-diam, merasakan sakit secara diam-diam. Dan akhirnya, patah hatipun diam-diam. Bentar lagi saya gantung diri diam-diam. Ah…

Siapa orang itu?

Di akhir posting saya sebelumnya, saya sempat mengungkit sedikit tentang seseorang yang mirip dengan beruang putih saya. Ya. Diam-diam, saya mulai menyukainya. Mengharapkan kedatangannya. Memperhatikan caranya tersenyum. Bahkan di saat ia diam dengan wajah mengantuk pun, ia terlihat memesona. Oya, satu lagi: dia single. Hmm. Yummy.

Betapa hancurnya hati saya ketika kemarin melihat cincin kawin di tersemat indah di jari manisnya. Saya segera mengecek database lewat komputer kantor. Statusnya telah berubah: menikah. Duh Gusti, adahal dia bukan siapa-siapa saya. Tapi dada ini rasanya sesak sekali. Seperti dijejal berton-ton batu bara; sesak dan panas. Seperti itu ya rasanya? Tak tahulah. Yang jelas sakit banget.

Yang lebih sakit lagi, saya sedang berantem dengan si Beruang Putih.

Ah…

-11-

Gambar diambil di sini.

Jumat, 02 Juli 2010

Empati

Saya nyaris ngamuk-ngamuk di KFC.

Oke. Nggak segitunya sih.

Ceritanya, tiga hari yang lalu saya makan malam di restoran cepat saji yang saya sebutkan di atas bersama seorang teman. Saya mengantri untuk memesan menu kami. Sialnya, baris antrian saya rupanya dilayani oleh gadis yang kinerjanya super duper lelet. Gimana nggak, di antrian sebelah sepertinya lancar-lancar saja, di tempat saya kok malah nggak bergerak sama sekali? Padahal ibu didepan saya sepertinya nggak memesan menu yang ribet deh (toh menunya itu-itu juga). Tapi gadis ini sepertinya kewalahan. Saya sih maunya sabar, tapi karena perut sudah menjerit merdu, ditambah melihat orang-orang yang baru datang langsung dilayani di antrian sebelah, lama-lama saya kesal juga. Sempat terpikir untuk pindah antrian, tapi saya memilih untuk bertahan sambil memendam rasa dongkol. Awas ya, gue bakal ngasih komentar pedas atas pelayanan kurang memuaskan ini!

Tiba giliran saya. Saya menatap si gadis layaknya seorang pembunuh berdarah dingin (Ryan Jombang?) yang menatap calon korbannya. Baru saja saya akan memuntahkan kata-kata, tapi si gadis mendahului menyapa saya dengan ramah. Meski terlihat capek, ia tetap memaksakan senyum dan bertanya penuh perhatian, “Selamat malam, Mas. Maaf, mau makan di sini atau dibawa pulang?” Melihat wajah letihnya, rasa dongkol yang sedari tadi memenuhi rongga dada saya tiba-tiba lenyap. Iya, secepat itu.

Saya seperti bisa mengerti kedaannya. Saya berpikir, mungkin saja dia karyawan baru. Atau mungkin dia kecapekan setelah sekian lama berdiri melayani begitu banyak konsumen yang ingin menikmati hidangan cepat saji di restoran itu. Ah, kejamnya saya. Meskipun ekspresi wajah saya telah melunak, sayangnya saya masih kelaparan. Jadi ketika menyebutkan menu pesanan saya, tak ada senyum yang bisa saya berikan (cukup duit saja ya, Mbak. Hehe). Yeah, minimal saya nggak mengeluarkan komentar pedas kan? :p

Saya akhirnya paham (atau setidaknya berusaha untuk paham) posisi si gadis. Jelek-jelek begini, saya menempati salah satu posisi front office di tempat saya bekerja. Posisi yang membuat saya harus berhadapan langsung dengan mitra kerja (stakeholder) dengan karakter yang berbeda-beda. Saya pernah mengalami saat-saat dimana saya kewalahan menangani begitu banyak stakeholder, sementara di antara mereka ada yang nggak sabaran, ngeyel, dan sebagainya. Meski begitu, saya harus sabar dan tetap berusaha melayani mereka sebaik mungkin. Tapi namanya juga manusia, ada saat dimana saya nggak bisa membendung emosi yang akhirnya membuat saya tidak bisa memberikan pelayanan terbaik.

Berempati memang perlu, bahkan harus. Tapi, kalau dipikir-pikir, empati yang hanya dilakukan oleh salah satu pihak saja rasanya kok nggak adil ya? Misalnya, saya berusaha untuk memahami mitra kerja yang datang, mencoba menempatkan diri dalam posisi mereka yang sudah capek-capek ke kantor saya, duduk lama mengantri, berharap pelayanan terbaik dari saya, dan seterusnya. Tapi, apakah saat itu mereka mencoba memahami posisi saya? Ketika saya harus melayani mereka sebaik-baiknya meski saya stuck di tempat saya selama berjam-jam, kadang sampai menahan kencing meski sudah sangat kebelet? Apakah mereka memikirkan itu?

Mungkin iya.

Mungkin juga tidak.

Who knows?


-11-

PS: Oya, ada mitra kerja yang mirip dengan Beruang Putih saya. Dan saya sadar, ternyata saya selalu menanti kedatangannya. Damn!

Minggu, 27 Juni 2010

Two Bears

To: White Bear
From: Si Codet
Message:
Selamat ulang tahun, Beruang Putihku.
Harapku untuk kebahagianmu, selamanya.

Mengenalmu adalah hadiah terindah
yang akan terus aku syukuri
selama sisa hidupku.


To: Black Bear
From: Si Codet
Message:
Ah, si Beruang Hitam juga ulang tahun rupanya.
Selamat ulang tahun, ya. ^^
Jangan lupa untuk meraih kebahagiaanmu.

Kau begitu jauh.
Dan aku rindu.
Percayalah, aku juga sayangimu
meski kau tak pernah tahu.

Jumat, 25 Juni 2010

Dear Diare

Kemarin, saya nggak masuk kantor gara-gara sakit yang sangat tidak keren: diare. Yeah, I know. Silakan ketawa. Tapi itulah yang saya alami. Mungkin karena pola makan saya yang tidak teratur (dalam arti: makan apa saja, kapan saja, dimana saja) yang menyebabkan saya menderita sakit yang tidak elit ini. Hiks. Malu banget saat datang ke kantor untuk minta ijin ke bos. 

“Maaf Pak, hari ini saya nggak bisa kerja. Diareee...”


Bos saya tersenyum geli.


Setelah mendapat ijin, saya balik lagi ke kos dan istirahat, setelah sebelumnya membeli sarapan dan menyiapkan obat diare. Aktivitas saya selama di kosan: tiduran, ke wc, tiduran lagi, ke wc lagi, abis itu tiduran di wc (yang ini becanda). Agh. Saat-saat seperti ini membuat saya kangen nyokap. Dulu, di rumah, saya sangat dimanja saat sakit. Nyokap akan membuatkan makanan enak, saya bisa santai sambil nonton tv atau sekedar tiduran yang lamaaa banget. Namun, saya menahan diri untuk menelepon beliau. Saya tidak ingin membuat beliau khawatir hanya karena anaknya menderita diare di perantauan. Nelpon nyokap karena diare? Ih, nggak banget deh. Sebenarnya tidak hanya diare sih. Saya memang tidak pernah menelepon nyokap saat sakit. Untungnya, selama di Mataram, sakit saya nggak parah-parah amat. Biasanya flu, sakit kepala sebelah (
migrain), atau batuk ringan.

Nggak ngantor bukan berarti saya bebas dari urusan pekerjaan. Beberapa kali saya hape saya berdering, yang ternyata dari mitra kerja (satker), menanyakan hal-hal terkait kerjaan, SPM Gaji 13, dsb. Gosh! Rasanya hape itu ingin saya banting saja. Sayangnya hape baru sih. Hehe.
By the way, gembel-gembel begini saya sangat bertanggung jawab loh kalo soal kerjaan (biasanya sih enggak, haha). Sebisa mungkin saya berusaha menerima telepon dengan nada ceria, atau diceria-ceriakan. Habis gimana? Mau marahpun percuma, saya lemas kekurangan cairan. (lebai)

Sorenya, perut saya mulai membaik. Entah mengapa tiba-tiba naluri pembokat saya keluar. Saya memutuskan untuk beres-beres kamar. Yap. Kamar saya sangat berantakan, berdebu pula. Saya mulai dari mengeluarkan isi lemari baju dan menatanya kembali. Buku-buku yang berserakan dimana-mana saya kumpulkan. Langit-langit kamar yang bersarang laba-laba saya sapu dengan kemoceng hingga kemocengnya jadi jelek banget, ketutup jaring laba-laba kelabu (buset ini kamar apa rumah drakula?!). Lantai saya sapu dan saya pel. Seprei saya ganti. Dan saya berakhir dengan badan bermandikan peluh. Lumayan juga, itung-itung olah raga.
^^

Dan...
ada satu peristiwa.

Peristiwa yang sangat membahagiakan saya, terjadi tadi pagi, yaitu ketika saya tiba di kantor. Salah satu orang yang sangat saya sayangi menyambut kedatangan saya dengan cara yang teramat spesial. Tapi maaf, saya tidak bisa menceritakannya secara detail. Biarlah peristiwa indah tadi saya simpan baik-baik dalam hati. Yang pasti, saya merasa sangat beruntung atas diare yang saya alami.


That’s why I call it, Dear Diare...



-11-

Jumat, 18 Juni 2010

Saya dan Sepak Bola


Pesta sepak bola terbesar yang selalu dinanti-nanti oleh setiap insan (halah) di berbagai belahan dunia telah tiba, World Cup! Heboh dan semarak, mewarnai setiap momen piala dunia yang kali ini diselenggarakan di Afrika Selatan. Lagu tema piala dunia yang dinyanyikan oleh Shakira terdengar makin akrab di telinga. Gimana nggak? Di tv dan di hampir di setiap pusat keramaian saya bisa mendengar orang-orang mulai anak kecil sampai orang dewasa menyanyikan potongan lirik lagu Shakira yang ada waka-waka eh eh-nya itu. Lucu juga, karena saya yakin mereka belum tentu paham apa yang mereka nyanyikan. Termasuk saya, hehe.

Setiap orang mendukung negara jagoannya, termasuk teman-teman di kantor saya. Ada yang mendungkung Jerman, Inggris, Italia, Brazil, Argentina, Spanyol, Belanda, Perancis, Korea Selatan (ada yang bilang orang Korea nggak cocok main bola. Mereka lebih cocok main film drama yang berlinang-linang air mata. Hehe. Tapi bagaimana dengan Indonesia sendiri? Ini yang mereka lupa. Korea, setidaknya, bisa tampil di panggung dunia persepakbolaan. Indonesia? Entah kapan...), dan negara-negara lainnya. Pendukung atau supporter biasanya bisa sangat fanatik. Saya dengar cerita teman saya di Ambon, katanya mayoritas orang Ambon adalah pendukung Belanda, sampai-sampai banyak yang memasang bendera Belanda di depan rumah (semoga mereka ingat untuk memasang bendera merah-putih saat tujuh belasan), atau keliling kota dengan motor sambil mengibarkan bendera Belanda.

Pertanyaan-pertanyaan tentang siapa mendukung negara mana sering banget terdengar. Saya pun nggak luput dari pertanyaan tersebut.
“Lo bakal ngedukung siapa?” tanya seorang teman.
Saya menjawab dengan jujur, “Gue gak suka bola, Bro. Lo ngedukung siapa, gue ikut aja.”
“Hah? Gak suka bola? Kenapa?” si penanya mengerutkan kening.
“Ya nggak suka aja. Kayak lo yang nggak suka balet, begitu juga gue yang nggak suka bola.”
“Aneh lo.”
Biasanya, saya akan kesal jika dibilang aneh, tapi belakangan saya mencoba sabar. Toh, saya bukan satu-satunya cowok yang nggak suka bola, meski banyak orang selalu beranggapan bahwa cowok harusnya suka dengan olah raga yang digandrungi masyarakat dunia itu.

Suatu saat, saya menulis status di facebook, yang intinya menyebutkan bahwa saya nggak begitu suka dengan sepak bola. Status saya itu rupanya menggelitik rasa penasaran seorang teman, sehingga dia bertanya langsung kepada saya lewat fasilitas chatting facebook. Sebut saja namanya Mawar-Korban-Perkosaan (disingkat MKP).
MKP: “Kok nggak suka bola?”
Saya: “Nggak suka aja.”
MKP: “Lo aneh. Masa cowok nggak suka bola?”
Saya: *diem*
MKP: “Kalo tinju, lo suka nggak?”
Ebuset? Tinju?Saya: “Maksudnya? Ya lebih nggak suka lagilah. Gue males ngeliat orang tonjok-tonjokan sampe babak belur.
Mawar: “Lantas lo sukanya apa? Baru kali ini gue ketemu cowok aneh kayak lo. Bukannya cowok suka segala sesuatu yang merangsang adrenalin?”
Saya: “Nggak semua cowok suka bola. Nggak semua cowok suka tinju. Kalau lo menganggapnya aneh, itu terserah lo. Jika disuruh milih, gue lebih milih mengurung diri di kamar, membaca, atau nonton, atau ngeblog, atau apalah. Gue nggak mau pura-pura suka bola agar nggak dicap aneh oleh orang-orang kayak lo!”
Entah karena paham maksud saya, atau karena merasa nggak enak karena perkataan saya mulai kasar, teman saya itu bersikap sok paham. Tapi saya merasa dia tetap akan menganggap saya aneh, seperti kata-katanya sebelumnya.

Kesal memang. Tapi mau bagaimana lagi? Saya tahu bahwa tidak sedikit orang yang berpikiran dangkal seperti dia. Tapi, tidak sedikit pula orang yang berpikiran lebih terbuka dan tidak mudah menggeneralisasi segala sesuatu.

Peduli amat.

Well, meski tak suka bola, saya suka kok Shakira dan "waka-waka-eh-eh"nya. :)


-11-

Gambar diambil di sini.

Rabu, 16 Juni 2010

Gadis Yang Telah Meninggal Itu Mendatangiku


Judul post-nya seram ya?

Untungnya, gadis yang telah meninggal itu mendatangi saya 'cuma' dalam mimpi, bukan di dunia nyata. Amit-amit kalau sampai kejadian.

Gadis itu bernama Sari. Seingat saya, ia meninggal kurang lebih dua tahun yang lalu karena sakit yang dideritanya (saya lupa persisnya sakit apa, sepertinya kanker). Usianya masih muda ketika dipanggi Yang Maha Kuasa. Jauh lebih mudah dari saya, malah. Saya cukup mengenal dia meski tak bisa dibilang kenal dekat juga. Entah mengapa dia hadir di mimpi saya.

Dalam mimpi, dia terlihat jauh lebih muda dari yang saya ingat. Sambil memegang Alkitab, ia mengajak saya untuk ikut bersamanya menghadiri kebaktian. Dalam mimpi saya tak ingat bahwa Sari sudah meninggal. Saya menolak ajakannya dengan halus. Ya… tidak betul-betul menolak sih. Saya menyuruh dia pergi duluan, nanti saya menyusul. Ia pergi, mamun saya tak pernah menyusulnya.

Itu saja.

Kemudian saya terbangun. Yang membangunkan saya adalah suara-suara di luar kamar kos. Suara teman-teman yang asik membicarakan (sepertinya sih) hasil pertandingan sepak bola yang baru mereka tonton subuh itu.

Saya menggeliat di ranjang saya yang tak begitu empuk. Sambil mengerjapkan mata, saya mencoba mengingat-ingat lagi tentang Sari, gadis yang telah meninggal itu. Awalnya saya tak merasa takut atau apalah. Barulah ketika menulis post ini, bulu kuduk saya mulai merinding.

Entah apa maksud dari mimpi saya itu. Mengapa gadis yang telah meninggal itu tiba-tiba mendatangi saya dan mengajak saya ke kebaktian?

Ah… saya akan memikirkannya nanti saja. Mungkin saya akan mendiskusikannya dengan seorang teman, meminta pendapatnya. Memang mimpi adalah bunga tidur. Mungkin ada artinya, mungkin juga tidak.

*tarik selimut*


-11-

Gambar diambil di sini.

Selasa, 15 Juni 2010

Hello!

Halo.

Selamat datang di blog saya. Kenalkan, nama saya Yovan. Tapi saya biasa dipanggil Opan. Maunya sih, dipanggil Vaan. *apasih*

Berhubung blog ini adalah personal blog, maka isinya bakalan random, tergantung keinginan saya untuk mengepost tentang apa saja, tentang hal-hal yang saya suka, maupun yang tidak saya suka. Mungkin saya akan menyisipkan review-review buku dan film, meski bisa dipastikan sebagian besar isi blog ini adalah curhat alias sampah. Hahaha.

Hari ini, 15 Juni 2010, saya tandai sebagai hari lahir blog pribadi saya ini. Mungkin tidak penting ya, menetapkan tanggal lahir untuk sebuah blog. Tapi saya ingin. Semoga saya tak kehilangan semangat untuk selalu mengupdate blog ini (seperti nasib blog-blog saya yang lain *sigh*).

Saya ucapkan selamat datang buat kamu. Dan terima kasih sudah menyempatkan waktumu yang berharga untuk sekadar melihat-lihat blog ini. Jika berkenan, jangan ragu untuk meninggalkan jejak/komen.


Regards,
Vaan
a.k.a
-11-