Rabu, 23 Februari 2011

Dulu

Dulu, aku selalu menantimu. Berharap kau datang bersama senyum jenakamu. Atau raut sinismu.

Dulu, aku selalu berdoa pada Tuhan. Meminta kekuatan agar aku berani menyapamu. Bicara denganmu. Atau sekadar menatap matamu.

Dulu, aku selalu mengagumi setiap tarikan wajahmu. Raut ketusmu saat bosan menunggu. Atau ketika kau salah tingkah. Atau saat kau tak peduli waktu aku menyapa, seolah aku tak ada.

Dulu, ketika melihatmu, aku selalu kehilangan kendali atas tubuhku sendiri. Tiba-tiba suaraku menjadi lebih keras. Tiba-tiba bicaraku melantur. Tiba-tiba pena di tanganku jatuh. Tiba-tiba aku menjepit jariku dengan stapler. Tiba-tiba aku tertawa. Tiba-tiba aku menabrak meja. Tiba-tiba aku lupa caranya bernapas.

Dulu, jantungku berpacu lebih cepat saat kau online. Dan aku harus mengumpulkan tenaga, hanya untuk bilang ‘hai’. Setelah aku itu rasanya mau pingsan.

Itu dulu.

Dan… sekarang pun masih. :)


-11-

Minggu, 20 Februari 2011

[Review Buku] The Lost Symbol

Judul buku: The Lost Symbol
Pengarang: Dan Brown
Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno
Penerbit: Bentang Pustaka, 2010
Tebal: 712 hlm


Oke, amat-sangat-terlambat-sekali saya membaca novel Dan Brown ini (melirik tumpukan novel lainnya yang juga telat saya baca). Tapi marilah kita nggak perlu mempermasalahkan itu. Nggak apa-apa kan telat baca, daripada nggak baca sama sekali. Setuju? SETUJU! *maksa*

Berikut review singkat saya.

The Lost Symbol adalah novel ketiga Dan Brown yang tokoh utamanya seorang profesor Harvard bernama Robert Langdon, setelah sebelumnya beraksi dalam The Da Vinci Code dan Angels and Demons. Kali ini, sang ahli simbolog lajang tersebut membawa kita mengikuti petualangan serunya dalam mengungkap rahasia Gedung Capitol, di Washington DC, Amerika Serikat, yang penuh dengan misteri mengagumkan.

Awalnya, Langdon datang ke Washington DC untuk memenuhi undangan ceramah di Gedung Capitol. Tapi setelah tiba di sana, Langdon menyadari bahwa ada yang tidak beres. Undangan tersebut palsu. Dan seseorang telah meletakkan Tangan Misteri di sana, sebuah simbol yang dibuat dari potongan pergelangan tangan manusia, tangan orang yang dikenal Langdon, Peter Solomon, yang adalah sahabat dan mentornya, sekaligus tokoh penting dari Persaudaraan Mason. Peter Solomon telah diculik! Sang penculik meminta Langdon memecahkan kode-kode kelompok rahasia Mason. Kode-kode yang melindungi suatu tempat yang amat sangat dirahasiakan oleh kelompok tersebut. Sebuah rahasia, yang konon akan membuat pemiliknya mampu mengubah dunia!

Tentu saja tugas Langdon tidaklah mudah, karena ia berhadapan dengan penjahat sadis yang tidak segan-segan membunuh demi mendapatkan keinginananya. Keadaan bertambah sulit dengan adanya campur tangan CIA, yang menganggap Langdon sebagai ancaman keamanan nasional. Menyusuri lorong-lorong bahwa tanah Capitol dan tempat-tempat menakjubkan lainnya sembari menghindari kejaran CIA, Langdon berusaha memecahkan kode rahasia Mason. Sebelum tengah malam, Langdon sudah harus berhasil, karena jika dia gagal, Peter Solomon akan dibunuh, dan sebuah rahasia yang konon akan mengguncang Amerika Serikat, bahkan dunia, akan tersebar.

Seperti dua novel Dan Brown sebelumnya (The Da Vinci Code dan Angels and Demons), novel The Lost Symbol juga bertempo cepat. Rentang waktu cerita di novel setebal 712 halaman ini bahkan tak lebih dari 24 jam! Ada ketegangan di setiap halamannya, membuat siapa pun enggan melepas novel ini sebelum benar-benar selesai membacanya. (Tapi saya nggak sampai segitunya kok. Hehe. Butuh waktu sekitar dua minggu bagi saya untuk membaca novel ini.)

Dalam novel thriller-nya ini, Dan Brown kembali menunjukkan kepiawaiannya dalam bercerita. Beliau kembali memadukan fakta sejarah dan imajinasi fiksi, sehingga menghadirkan novel yang luar biasa. Topik yang diangkat adalah perkumpulan kaum rahasia Mason, yang kental dengan kontroversinya, agenda-agenda rahasianya, serta simbol-simbolnya yang—jika kita jeli—ternyata ada dimana-mana. Bahkan George Washington, Benjamin Franklin, juga berbagai ilmuwan terkenal di masanya, diduga adalah anggota Mason. Maka semakin menariklah novel ini.

Saya yakin, dalam proses penulisan The Lost Symbol, Dan Brown melakukan riset serius. Walaupun demikian, deskripsinya yang sangat mendetail tentang suatu subjek, tidaklah membosankan. Fakta-fakta sejarah yang diungkap olehnya tidak lantas membuat kita seperti dikuliahi. Malah, saya pribadi sangat antusias pada bagian-bagian dimana Dan Brown, lewat tokohnya, Robert Langdon mulai membahas sejarah benda-benda dan artefak kuno, simbol, adat-istiadat, hingga kepercayaan tertentu. Tak jarang saya memberi stabilo pada bagian kalimat atau paragraf yang saya rasa menarik.

Terlepas dari kontroversi dalam novel ini (meski mungkin nggak seheboh The Da Vinci Code), novel Dan Brown selalu memikat hati para membacanya. Dan meski nggak semencekam Angels and Demons, The Lost Symbol tetap merupakan novel penuh misteri dan ketegangan yang sayang untuk dilewatkan begitu saja. Penggemar cerita-cerita thriller wajib membaca The Lost Symbol. Saya menyesal nggak segera membaca novel ini (saya membelinya bulan Juli 2010 lalu, dan baru membacanya Februari 2011. Great!). Nikmati saja bacaan ini sebagai fiksi, dan kamu akan baik-baik saja.

Dan jangan ciut dulu begitu melihat bukunya yang oh-so-tick-banget itu. Halamannya yang tebal dikarenakan ukuran fontnya yang ramah di mata. Maksudnya saya, fontnya cukup besar. Nggak kecil seperti font novel The Lord Of The Rings. Selamat membaca!

-11-

Gambar diambil di sini.


Pengarang: Dan Brown

Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno

Penerbit: Bentang Pustaka, 2010

Tebal: 712 hlm


Rabu, 16 Februari 2011

Sekilas Tentang Bacaan Di Awal Tahun

Selesai juga membaca The Lost Symbol. Bacaan berat pertama saya di awal tahun ini—berat dalam arti sebenarnya maupun kiasan—setelah sebelumnya hanya membaca buku-buku ringan yang sebagian besar mengocok perut. Saya akan mereview The Lost Symbol nanti, di postingan yang lain. Saat ini saya hanya akan mereviewnya sedikit, bersamaan dengan bacaan saya yang lain di awal 2011. Here it goes

1. My Stupid Boss


Di awal 2011 saya dihibur oleh buku My Stupid Boss ini. Tadinya saya pikir, selain buku-bukunya Raditya Dika, nggak ada lagi buku yang bisa membuat saya ngakak guling-guling. Ternyata saya salah. Ternyata masih ada buku yang bisa bikin saya tertawa terbahak-bahak, Sodara-sodara! Saya sih tahu kalo buku ini lucu (hasil membaca cuplikan kisahnya di cover bagian belakang), tapi saya nggak nyangka buku ini bisa membuat saya lebih dari sekadar tersenyum. :D

Kamu pernah nggak berpikir, kalo kamu adalah pegawai kantoran paling malang sedunia, karena punya boss yang bikin bete? Well, kalo jawaban kamu iya, kamu harus baca buku ini, dan pikirkan kembali, benar nggak sih kamu yang paling malang? Buku ini berisi kisah nyata seorang wanita Indonesia yang bekerja di Malaysia, yang meskipun boss-nya juga sama-sama orang Indonesia, tapi kelakuan si boss ini bener-bener unbelievably nge-bete-in! (Mau contoh? Si Stupid Boss ini menyuruh sang penulis menghitung baut. Great!) Gaya bercerita si penulis yang hiperbolis bin kocak mengajak pembaca untuk menertawakan nasib malang yang menimpanya. Yah… nggak malang-malang amat sih sebenernya, karena si penulis nggak segan-segan ngelawan si boss atau mempertahankan pendapatnya selama dia yakin dirinya benar. Sang penulis menggunakan nama pena Chaos@work, sesuai dengan nama blognya: chaosatwork.com. Nggak pake nama asli, bakalan ribet kalo ketahuan si boss kali ya? Hahaha. Saya terhibur banget membaca buku ini. Dan tiba-tiba merasa beruntung, karena boss saya jauh lebih baik dari boss yang ‘dijelek-jelekkan’ sang penulis di buku ini. (^^)

2. My Stupid Boss 2


Banyak yang bilang buku yang kedua ini nggak selucu buku pertama, karena bahasanya diperhalus. Memang sih, umpatan-umpatan sang penulis yang ditujukan buat si boss di buku pertama lumayan sadis (namun tetap mengundang tawa). Tapi saya pribadi berpendapat buku kedua ini justru lebih lucu. Meski bahasanya dibuat lebih sopan, tapi nggak mengurangi efek lucu yang diciptakan sang penulis. Secara keseluruhan buku ini nggak jauh berbeda dengan buku yang pertama. Isi buku ini masih seputar curhatan si penulis tetang kantor, si boss, para pekerja, yang semuanya diramu sedemikian rupa, sehingga menghasilkan buku nonfiksi paling lucu yang pernah ada.

3. Komik Kambing Jantan 2


Jujur, saya kecewa. Entah mengapa rasanya kok komik ini lebih ‘ancur’ dari komik pertama. Ancur dalam artian jelek, bukan lucu. Dari segi gambar, kayaknya nggak rapih gitu, kesannya dibuat terburu-buru (eah, sotoy dah gue). Sedangkan ceritanya sendiri? Well, beberapa memang ada yang lucu, tapi kebanyakan cenderung dipaksakan sehingga nggak masuk akal. Kecewa berat saya. Mana harganya mahal lagi! Komik Naruto aja yang kualitasnya luar biasa itu harganya nggak mahal-mahal amat. Bagi yang ingin baca, saya sarankan pinjam saja buku ini dari teman, jangan beli. Rugi. Kecuali kalo kamu emang fans butanya Raditya Dika.

(Oh my God, apa yang terjadi dengan kalimat “nimatin-aja-bacaan-lo”nya Langit? Abaikan... Abaikan…)

4. Bule Juga Manusia


Nah, ini lucu! Richard Miles, sang penulis, adalah teman Raditya Dika. Pertama kali saya mengenal bule ngehe ini saat mengikuti perkembangan film Kambing Jantan yang infonya diupdate terus oleh Raditya Dika lewat blognya, dan bule ini ternyata salah satu figuran di film tersebut. Saya suka membaca blognya si Richard Miles (inget, Miles, bukan Mules) yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Sebagai seorang bule (dari Ostrali), penguasaan bahasa Indonesia gaulnya top banget. Fasih banget dia ber-elo-gue. Dan lagi, bule ini kocak. Tepatnya sih, gila! Sebelas-dua belaslah sama Raditya Dika. Buku ini sendiri berkisah tentang pengalaman-pengalaman seru (baca: tragis, apes, kocak, ngehe) si Bule Ostrali selama berada di Indonesia. Kita bisa melihat negara kita dari sudut pandang si Bule. Saya agak tersentuh, karena beliau mengaku cinta banget sama Indonesia. Eniwei, ceritanya nggak melulu tentang pengalaman si Bule selama di Indonesia kok. Si Bule juga curhat-curhat tentang cinta pertamanya, tentang bagaimana repotnya mengantar pulang sang pacar saat dianya kebelet boker, bahkan, bule ini ngasih tips seputar ngedate (yang tentu saja, ditulis dengan gaya yang kocak). Seru abis! Si Bule penyuka grup band Shelia On 7 ini punya gaya menulis yang asyik untuk diikuti alias nggak ngebosenin. Pertanyaan saya satu aja buat si Bule: SERIUS LO DIGODAIN OM-OM HOMO DI GEDUNG DPR??? *gegulingan*

5. Coklat Stroberi


Alasan saya utama saya membaca (oke, membeli) buku ini semata-mata karena penulisnya adalah CHRISTIAN SIMAMORA. Sudah nonton sih filmnya, bertahun-tahun yang lalu. Tapi karena saya bertekad ingin mengoleksi semua bukunya Bang Chris, jadilah saya beli buku ini lewat toko buku online (bersamaan dengan Bule Juga Manusia dan Kambing Jantan 2, sama satu lagi bukunya Bang Chris tapi belum saya baca, judulnya Macarin Anjing).

Di luar dugaan, ternyata buku ini nggak kalah lucu dibanding filmnya. Lebih lucu malah. Saya suka gaya bercerita di buku ini yang oh-so-Christian Simamora-banget. Gaya bercerita Bang Chris emang khas. Inilah mengapa saya menyukai semua buku-bukunya. Memang sih, jika dibandingkan dengan Shit Happens atau Pillow Talk, buku Coklat Stroberi ini kurang begitu ‘menggigit’, tapi tetap asik kok untuk dibaca. Novel ini lebih menarik jika dibandingin sama novel-novel based on movie script lainnya menurut saya.

6. Ngeblog Dengan Hati


Duh, sebagai blogger, saya merasa hina karena telat membaca buku ini… hiks… (lebaaay). Buat para calon blogger, buku ini sangat wajib dimiliki, karena mengupas banyak hal terkait kegiatan mengasyikkan di dunia maya, yaitu ngeblog. Tapi buku ini juga nggak melulu buat nubie kok. Blogger senior yang sudah pasti kenal dengan Ndoro Kakung, sang penulis buku ini yang juga blogger terkenal, wajib membaca dan mengoleksi buku ini. Banyak ilmu yang bisa diserap untuk bekal kita, para blogger, dalam meramaikan ranah blog Indonesia.

7. The Lost Symbol


Naaaah… Ini dia. Setelah berkutat selama dua minggu membaca di sela-sela jam kerja, makan siang, dan sebelum tidur, akhirnya selesai juga saya ‘menyantap’ buku ini. Tebalnya itu loh, membuat beberapa teman yang melihat saya menentengnya mengira saya orang pintar, karena bacaan saya yang berat. Kenyataannya nggak begitu, kawan... Gue bawa-bawa buku ini buat keren-kerenan aja kok. Hahaha.

Meski nggak sampai mengundang kehebohan maha dahsyat (lebay lagi, ampun) seperti The Da Vinci Code, Dan Brown, harus diakui, adalah penulis jenius. Dia mampu meramu fakta-fakta sejarah dalam daya imajinasi yang luar biasa, sehingga menghadirkan novel thriller yang membuat penulis manapun merasa iri. Tak hanya itu. Dan Brown membuat pembaca bingung membedakan antara fakta dan fiksi. Dua jempol buat Dan Brown! Masih kurang? Nih, saya tambahin lagi nih dua jempol… jempol kaki! Hehe.

***

So far, itulah buku-buku yang saya baca di awal tahun. Saat ini, saya sedang menikmati novel Indonesia berjudul Writer vs Editor. Nanti deh saya review kalo udah kelar. Tapi sebelum itu, saya harus mereview The Lost Symbol dulu. :)


@vaan, Februari, 2011

Rabu, 09 Februari 2011

"kenapa-lo-suka-baca"

“Anyway, udah ada yang baca novel Coastliners?”
Sebastian langsung termakan trik Lula untuk mendamaikan perseteruan yang biasanya nggak lama itu. “Udah! Love it! Elo?”
“Leave It!” (kata Lula)
“Kenapa? Menurut gue, bagus kok,” kata Langit tiba-tiba.
“He-eh, kan? Menyentuh banget. Puitis,” terang Sebastian.
“Mellow. Agak-agak dramatis,” sambung Langit.
“Slow. Bete, gue. Mana voice and tone-nya sama semua. Terus…”
“Mungkin, lo harus mengingat kembali kenapa-lo-suka-baca!” potong langit. “Santai aja, Ul. Nikmatin aja bacaan lo.”
“Iya, Beib. Kadang-kadang, elo emang nggak harus mikir kok.” (kata Sebastian)

(Shit Happens, GagasMedia, halaman 13-14)
Saya rasa bukan cuma Lula saja yang ngalamin hal di atas. Saya yakin beberapa di antara kita pasti pernah mengalaminya. Saya juga demikian. Lula, seperti kebanyakan pembaca buku dewasa ini, adalah pembaca yang kritis. Juga, pembaca yang nggak mudah di puaskan. Selalu saja merasa ada yang kurang dari bacaan tersebut. Saya pribadi merasa terlalu pemilih dalam membaca novel. Tak jarang saya berhenti membaca di tengah jalan karena menyadari si penulis ternyata berbeda pendapat dengan saya, atau, terlalu menggurui.

Sebagai pembaca, saya rasa wajar jika ada bagian dari diri saya yang ngerasa berhak menghakimi suatu bacaan, terutama jika bacaan itu mengecewakan menurut pandangan saya. Untuk novel yang saya rasa buruk, saya dengan lantang men-judge bahwa ceritanya sampah, membosankan, kurang greget, dan ungkapan-ungkapan tak puas lainnya.

Namun, kalimat sederhana dari tokoh Langit yang saya tebalin di atas seperti menohok saya. Saya lupa salah satu fakta yang seharusnya saya hargai. Apa itu? Usaha sang penulis untuk menyelesaikan novelnya. Sejelek-jeleknya, separah-parahnya sebuah novel, toh sang penulis sudah berusaha maksimal.

Bagaimanapun, ada saja usaha saya untuk berdalih: Lha gue itu beli novelnya pake duit kan? Itu berarti gue ngasih makan penulisnya kan? Harusnya gue berhak dong ngedapetin bacaan yang bagus? Dan kalo ternyata jelek begini, sia-sia dong gue, buang duit dan buang waktu!

Oke, saya agak berlebihan.

Ini soal selera sih ya. Bisa jadi bacaan yang saya anggap jelek, ternyata dipuja-puji oleh orang lain. Dan sebaliknya, bacaan yang menurut sebagian orang bagus, justru dihina-hina oleh yang lain.

“Mungkin, lo harus mengingat kembali kenapa-lo-suka-baca!” kata Langit kepada Lula. Dan kepada saya.

Saya tercenung. Mengapa saya suka membaca?

Yah… mungkin… karena saya senang membaca. Fakta itu membawa saya terbang ke masa lalu. Kala itu, membaca rasaya seperti menyantap camilan manis; saya menikmati camilan itu tanpa beban, tanpa diusik pertanyaan-pertanyaan kritis, ‘sebanyak apa kandungan pemanis buatannya?’ ‘ada bahan pengawetnya nggak?’ dan seterusnya dan seterusnya. Tak ada prasangka.

Trus gimana kalo bacaannya ternyata nggak bagus? Nggak mutu? Dan nggak-nggak lainnya?

Kemudian saya membayangkan Langit berbisik lembut di telinga saya.

“Santai aja, Vaan... Nikmatin aja bacaan lo."


-11-

Selasa, 01 Februari 2011

Bukan Resolusi

Mungkin agak terlambat ya, jika saya menulis resolusi 2011 sekarang? Haha. Sebenarnya sebelum awal tahun saya telah berencana menulis resolusi untuk tahun 2011; hal-hal apa saja yang akan saya lakukan atau ingin saya capai. Actually, menetapkan resolusi dalam bentuk tulisan baru dua tahun terakhir ini saya lakukan. Latah, ikut-ikut temen bikin resolusi. Dan bisa ditebak, banyak dari resolusi yang saya bikin itu nggak kesampaian. Sebagian karena lupa!

Setelah dipikir-pikir, saya merasa perlu untuk menetapkan resolusi di tahun ini. Bukan karena latah. Bukan pula untuk menambah jumlah postingan di blog ini (oke, bagian yang ini saya bohong sedikit, hehe). Saya butuh sesuatu yang bisa membantu saya fokus dalam menjalani hari-hari yang penuh ketidakpastian ini (jiah). Saya bosan being spontaneous, menjalani rutinitas apa adanya tanpa tujuan yang spesifik, hanya berharap agar bisa melewati setiap hari dengan sukses (bukan berharap tanpa masalah lho. Saya sadar, masalah justru mendewasakan saya—dan kita semua. Membuat kita belajar…).

Jadi, karena sekarang sudah Februari, maka anggap saja yang akan saya tulis di bawah ini bukan resolusi, tapi sekadar pengingat akan hal-hal yang akan/ingin/harus saya lakukan di sisa tahun 2011 yang masih panjang ini (huessss):

  1. Mulai kuliah, secepatnya! Dua tahun dan delapan bulan di Mataram, saya hanya disibukkan dengan pekerjaan. Sudah saatnya meraih gelar sarjana. Hiks, malu saya, umur sudah 24 tapi gelar S1 aja belum punya. Universitas Terbuka adalah pilihan yang paling mungkin saat ini. Maklum, orang sibuk. *dilempar sandal*
  2. Membaca minimal 50 buku (fiksi + nonfiksi). Untuk sementara target saya segitu dulu. Buku-buku yang masuk to-read-list saya beberapa di antaranya lumayan tebal sih, sementara saya adalah pembaca lambat. *sighing*
  3. Konsisten mengupdate blog.
  4. Bikin paspor.
  5. Pulang kampung. Minimal sekali saja, itu sudah sangat-sangat membuat saya senang.
  6. Diet.
  7. Mulai jogging.
  8. Mengurangi merokok.
  9. Cari pacar. Nggak usah komentar ya… Haha.
  10. Lebih sering menulis, menulis, daaaan terus menulis. Paling tidak menulis fanfiction. Atau coba-coba nulis cerpen, siapa tau beruntung dimuat di media cetak.
  11. Mainin game Final Fantasy XIII. God, penasaran banget sama game itu!
  12. Belajar bahasa Inggris lagi. Tujuan saya sederhana. Saya ingin minimal lancar membaca tulisan bahasa Inggris. Mengapa? Banyak ebook karya sastra bagus di internet yang ditulis dalam bahasa Inggris, sayang rasanya kalau saya tak bisa menikmatinya hanya karena nggak lancar bahasa Inggris.
Itu aja dulu. Siapa tau nambah lagi.

Good nite.


-11-