Rabu, 09 Februari 2011

"kenapa-lo-suka-baca"

“Anyway, udah ada yang baca novel Coastliners?”
Sebastian langsung termakan trik Lula untuk mendamaikan perseteruan yang biasanya nggak lama itu. “Udah! Love it! Elo?”
“Leave It!” (kata Lula)
“Kenapa? Menurut gue, bagus kok,” kata Langit tiba-tiba.
“He-eh, kan? Menyentuh banget. Puitis,” terang Sebastian.
“Mellow. Agak-agak dramatis,” sambung Langit.
“Slow. Bete, gue. Mana voice and tone-nya sama semua. Terus…”
“Mungkin, lo harus mengingat kembali kenapa-lo-suka-baca!” potong langit. “Santai aja, Ul. Nikmatin aja bacaan lo.”
“Iya, Beib. Kadang-kadang, elo emang nggak harus mikir kok.” (kata Sebastian)

(Shit Happens, GagasMedia, halaman 13-14)
Saya rasa bukan cuma Lula saja yang ngalamin hal di atas. Saya yakin beberapa di antara kita pasti pernah mengalaminya. Saya juga demikian. Lula, seperti kebanyakan pembaca buku dewasa ini, adalah pembaca yang kritis. Juga, pembaca yang nggak mudah di puaskan. Selalu saja merasa ada yang kurang dari bacaan tersebut. Saya pribadi merasa terlalu pemilih dalam membaca novel. Tak jarang saya berhenti membaca di tengah jalan karena menyadari si penulis ternyata berbeda pendapat dengan saya, atau, terlalu menggurui.

Sebagai pembaca, saya rasa wajar jika ada bagian dari diri saya yang ngerasa berhak menghakimi suatu bacaan, terutama jika bacaan itu mengecewakan menurut pandangan saya. Untuk novel yang saya rasa buruk, saya dengan lantang men-judge bahwa ceritanya sampah, membosankan, kurang greget, dan ungkapan-ungkapan tak puas lainnya.

Namun, kalimat sederhana dari tokoh Langit yang saya tebalin di atas seperti menohok saya. Saya lupa salah satu fakta yang seharusnya saya hargai. Apa itu? Usaha sang penulis untuk menyelesaikan novelnya. Sejelek-jeleknya, separah-parahnya sebuah novel, toh sang penulis sudah berusaha maksimal.

Bagaimanapun, ada saja usaha saya untuk berdalih: Lha gue itu beli novelnya pake duit kan? Itu berarti gue ngasih makan penulisnya kan? Harusnya gue berhak dong ngedapetin bacaan yang bagus? Dan kalo ternyata jelek begini, sia-sia dong gue, buang duit dan buang waktu!

Oke, saya agak berlebihan.

Ini soal selera sih ya. Bisa jadi bacaan yang saya anggap jelek, ternyata dipuja-puji oleh orang lain. Dan sebaliknya, bacaan yang menurut sebagian orang bagus, justru dihina-hina oleh yang lain.

“Mungkin, lo harus mengingat kembali kenapa-lo-suka-baca!” kata Langit kepada Lula. Dan kepada saya.

Saya tercenung. Mengapa saya suka membaca?

Yah… mungkin… karena saya senang membaca. Fakta itu membawa saya terbang ke masa lalu. Kala itu, membaca rasaya seperti menyantap camilan manis; saya menikmati camilan itu tanpa beban, tanpa diusik pertanyaan-pertanyaan kritis, ‘sebanyak apa kandungan pemanis buatannya?’ ‘ada bahan pengawetnya nggak?’ dan seterusnya dan seterusnya. Tak ada prasangka.

Trus gimana kalo bacaannya ternyata nggak bagus? Nggak mutu? Dan nggak-nggak lainnya?

Kemudian saya membayangkan Langit berbisik lembut di telinga saya.

“Santai aja, Vaan... Nikmatin aja bacaan lo."


-11-

Tidak ada komentar: