Jumat, 28 Januari 2011

Cerai


Siang tadi, di sela-sela jam kerja, saya ditelpon seorang teman lama. Meski lama tidak ketemu (sekitar dua tahunan), kami tetap menjaga tali silaturahmi lewat telpon dan sms. Tapi telponnya kali ini di luar kebiasaan--biasanya ia menelpon saya saat weekend, atau paling tidak, bukan di jam kerja. Obrolan yang sering terjadi pun standar obrolan antar kawan lama, saling bertanya kabar, bertukar cerita tentang hal-hal seputar pekerjaan, keluarga, tempat tinggal dan sebagainya.

Kali ini berbeda. Nada suaranya serius, tanpa basa-basi.

“Bro, bisa minta tolong nggak? Gue sedang dalam proses cerai sama istri. Gue lagi butuh duit nih. Buat bayar ini-itu selama proses cerai.”

“Eh?” saya agak terkejut. “Tentu bisa lah, Bro."

“Elo udah tahu ya gue mau cerai?”

“Ya nggaklah, baru tahu ini kok.”

“Tapi kok reaksinya biasa gitu? Nggak kaget ato gimana gitu?”

Saya cuma tertawa pelan. Kaget sih, sedikit. Mungkin teman saya ini mengharapkan reaksi heboh dari saya. Yah, saya memang orangnya heboh, untuk kejadian yang biasa-biasa saja sering saya respon dengan gaya berlebihan aka lebay, apalagi ini, cerai.

“Yaaa… gimana ya.” Saya menggaruk kepala saya yang nggak gatal sama sekali. “Turut prihatin aja deh.”

Dia ngakak mendengar jawaban saya. Heran, untuk ukuran orang yang sedang dalam proses perceraian setelah menikah bertahun-tahun hingga dikaruniai dua orang orang anak, nada suaranya terdengar tanpa beban. Ini beneran nggak sih mau cerai?

“Emang masalahnya apa?” Saya berusaha terdengar berempati. “Kok bisa sih sampe cerai-cerai segala? Padahal selama ini kayaknya nggak ada masalah apa-apa…”

Ada jeda sejenak. “Uhm… nanti ya gue ceritain.” Suaranya sendu kali ini. “Yang penting, sekarang ini elo bisa bantu gue kan?”

“Sip, Bro. Butuh berapa?”

Dia menyebut nominal dan nomor rekeningnya, berjanji kapan akan mengembalikan uang saya. Saya menyanggupi.

Pembicaraan ditelpon pun berakhir, setelah saya kewalahan atas ucapan terima kasih bertubi-tubi darinya (oke, lebai).

Well, meski saya orang yang ekspresif (heboh, pecicilan, lebay, you name it) terkadang reaksi saya untuk sesuatu yang lebih serius malah adem-adem aja. Mungkin ada yang salah dengan saya. Atau, saya hanya nggak tau gimana bereaksi atas masalah teman saya ini. Entahlah.


-11-

Gambar diambil di sini.

Minggu, 23 Januari 2011

Get Stuck!



Christian Simamora, salah satu penulis favorit saya, pernah menulis status di facebook kurang lebih seperti ini: “Terlalu banyak ide sama jeleknya dengan nggak ada ide sama sekali.”

Kedua alis saya menyatu saat membaca statusnya itu. Justru bagus kan, kalo kita punya banyak ide? Tapi setelah dipikir-pikir, ungkapan Bang Chris ada benarnya juga. Terlalu banyak ide justru membuat kita (ato dalam hal ini, Bang Chris) kebingungan. Ide mana yang akan dipakai, mana yang nggak, bagusan mana antara ide yang ini ato yang itu, bla bla bla. Pada akhirnya proses menulis pun mandeg.

Saya rasa, saya mengalami hal yang sama. Begini, saya suka mencatat ide-ide saya di sebuah notes kecil, yang nantinya akan saya tuangkan ke dalam entri di blog. Notes itu pun akhirnya dipenuhi catatan-catatan random tentang banyak hal, tentang gagasan-gagasan yang muncul saat saya melamun, nonton film, mendengar khotbah di gereja (well, saya nggak taat-taat amak kok), saat beol di pagi hari, ketika terlibat percakapan seru dengan teman dan sebagainya. Akhirnya, dari sekian banyak catatan-catatan kecil yang saya tulis itu, saya bingung memilih mana yang akan saya kembangkan menjadi tulisan utuh. Tiap kali memandang microsoft word 2007 yang telah siap diisi dengan kata-kata, pikiran saya buntu. Parahnya lagi, semua ide itu tiba-tiba tak satu pun yang saya rasa menarik.

Apakah ini efek terlalu banyak ide? Atau saya kena ‘penyakit’ write’s block? Atau, saya hanya kehilangan mood? Jika ini memang perang melawan mood, jelas-jelas saya telah kalah. Kalo sudah begini, biasanya saya memilih untuk menonton serial tv saja di laptop. Atau beralih ke tumpukan novel di samping tempat tidur, meraih salah satunya, membacanya, berharap bisa merefresh otak saya yang mulai mengeras. Too bad, seringnya saya malah ketiduran!

Cara lain yang saya coba adalah browsing internet, mencari tips-tips menulis. Tips menulis yang sudah saya coba yaitu menulis buruk. Artinya, menulis apa pun yang terlintas di kepala kita tanpa mengindahkan tata bahasa, logika, kekonsistenan kalimat dan sebagainya. Barulah kita mengeditnya belakangan. Jangan menulis sambil mengedit, karena itu justru membuat kita terkekang dan kesulitan menyelesaikan tulisan kita.

Percayalah, tips di atas benar-benar sudah saya coba. Dan terbukti… NGGAK NGEFEK TUH! Setidaknya nggak ngefek buat saya. *sigh*

Saya browsing internet lagi. Kali ini bukan mencari tips tentang cara menulis yang baik, atau yang sesuai dengan style kita dan semacamnya, tapi saya mencari tips bagaimana menjaga semangat untuk tetap menulis. Well, beberapa saya temukan di sini, dan harus saya akui, kelima puluh tips itu cukup membakar semangat saya. Sungguh! Setelah saya membacanya, sesegera mungkin saya kembali ke laptop (Tukul mode, on), membuka microsoft word, dan… kembali mematung! Nggak tau mau nulis apaan. Saya ngecek notes kecil saya lagi, dan notes itu berakhir dengan mengenaskan di lantai, saya lempar begitu saja saking kesalnya. Kesian deh lu, Notes…

Rasanya ingin berhenti saja menulis! Berhenti, agar semua kegalauan (halah) yang menumpuk di kepala tentang tulis-menulis dan segala tetek-bengeknya lenyap, berganti perasaan lega. Lebih baik saya menemukan minat saya yang lain, menekuninya, ketimbang bergulat dengan kata-kata yang nggak kunjung menjadi kalimat, paragraf, apalagi satu tulisan utuh. Namun, meskipun pikiran itu sudah melintas di kepala saya, saya malah nggak bisa berhenti begitu saja. Semakin saya menetapkan hati untuk berhenti, semakin nggak nyaman saya rasakan. Yang ada bukan perasaan lega, justru saya merasa seperti berhutang kepada seseorang. Tau kan gimana rasanya ngutang? Ngutang ke tukang bakso misalnya, karena lupa nggak bawa dompet. Nggak enak banget kan? (Yeah, I know, siapa juga yang mau ngutang ke tukang bakso? Dan kenapa juga saya memilih analogi ini! Nggak kreatif!)

Demi menghilangkan perasaan seolah-ngutang-ke-tukang-bakso itu, saya mencoba melihat kembali catatan di notes malang saya (ehem, maapin gue, Notes malang, udah ngebuang kamu…). Saya menambahkan coretan-coretan baru, untuk kemudian diposting di blog. Dan, AJAIB! Saat berhadapan dengan Tukul, eh, dengan laptop maksud saya, sekali lagi, saya nggak bisa menyelesaikan tulisan saya. Sekali lagi, otak saya mengeras. Sekali lagi, mending gantung diri aja deh! Agggghhh!!!!!

Edit to add:
"Anjir. Cuma mau nulis blog doang udah kayak mau nulis novel aja lu, Pan. Lebaiiiii..."


-11-

Rabu, 05 Januari 2011

Hero




Kemungkinan besar kamu akan melakukan apa pun yang diminta oleh orang yang kamu sayangi. Even itu sesuatu yang nggak kamu suka, selama bisa kamu lakukan, kamu akan melakukannya. Misalnya, suatu saat si dia iseng memintamu menulis puisi, kamu pasti akan menulisnya meskipun hasilnya puisi kamu garing (seringnya sih, lebai). Saat dia memintamu berhenti merokok, kamu mungkin menggerutu, tapi kamu akan berhenti merokok (setidaknya di depan dia, tapi di belakang dia, TETEP aja kamu isep-isep itu barang). Mungkin dia memintamu nurunin berat badan, dan kamu akhirnya rajin fitness, minimal jogging atau diet. Atau iseng-iseng dia memintamu kayang di jalan tol (yah, namanya juga iseng). Untuk yang satu itu sih, kamu mesti tanya balik dulu ke dia, “Honey… kamu cinta aku nggak sih! KAMU MAU AKU MATI DILINDES TRUK???”


Tapi, akan lebih mudah memenuhi keinginan orang terkasihmu, jika yang dia minta justru sesuatu yang kamu senang ngelakuinnya. Misalnya jika dia memintamu… uhm, menyanyi, misalnya.


Seperti yang dialami Jo siang itu. Orang yang diam-diam dia sayangi memintanya untuk menyanyi.


Saat itu jam dinding sudah menunjukkan waktu makan siang. Mata Jo celingukan mencari teman untuk diajak makan siang bareng. Dudi, yang biasanya jadi partner makan siangnya, rupanya masih banyak kerjaan. Bukan hanya Dudi, dua orang lainnya juga terlihat sibuk dengan kerjaan mereka; Dimas dan satunya lagi… dia, orang yang selama ini memenuhi kepalanya, orang yang dicintainya diam-diam.


“Tunggu bentar ya, Jo, tanggung nih,” ujar Dudi sambil melirik sekilas ke Jo. “Atau lo duluan aja?”


Jo berpikir sebentar, menggigit bibir bawahnya. Garing ah makan siang sendirian. “Nggak lama kan lo? Gue tungguin deh.”


“Siiip, nggak lama kok.”


Sambil menunggu, Jo mengambil gitar milik Dudi dan mulai memainkan kunci-kunci sederhana (fyi, Dudi sengaja membawa gitar kesayangannya ke kantor, biar bisa nyanyi-nyanyi kalo lagi santai, atau kalo lagi bete). Ngomong-ngomong, Jo suka lagu-lagu mellow milik diva-diva terkenal macam Celine Dion dan Mariah Carey. Memang sih, that is not so manly untuk ukuran seorang cowok, but hey, lagu mereka kan bagus-bagus. You have to admit it! Itulah mengapa Jo menyenandungkan (duileh… bahasanya) My Heart Will Go On-nya Celine Dion. Plus dengan penuh penghayatan (untungnya Jo nggak sampe grepe-grepe badannya sendiri saking menghayatinya).


Satu lagu selesai Jo nyanyikan, tapi Dudi masih belum selesai dengan kerjaannya. Perutnya mulai keronconngan. Dasar Dudi JELEK! Nggak lama apanya??? kutuk Jo. Ups, dosa deh Jo, udah nganta-ngatai Dudi meski dalam hati doang. Cowok itu memutuskan nggak mau menambah dosanya dengan menaruh kembali gitar Dudi ke tempat semula. Jo nggak mau tanggung jawab kalo sampe ada yang kena pendarahan telinga gara-gara dengerin suara cemprengnya itu.


Tapi... ada yang protes gara-gara Jo berhenti nyanyi!


“Loh, kok cuma satu lagu doang, Jo? Tanggung banget!”


Jo menoleh ke arah sang pemilik suara. Ternyata orang itu… dia! Jo ragu-ragu, apakah orang itu serius atau bercanda.


Melihat wajah bengong Jo, sang pujaan hati kembali berkata, kali ini disertai senyum yang oh-so-cute banget, “Lagi dong nyanyinya. Biar gue ma teman-teman semangat kerjanya nih.” Dudi dan Dimas, mengangguk setuju. Entah memang suka mendengar Jo menyanyi (ini aneh!) atau karena ingin agar Jo sama-sama kelaparan bersama mereka (ini mungkin bener!).


“Serius? Lo mau gue nyanyi lagi? Suara gue jelek gini ah…,” jawab Jo, memasang tampang malu-malu-nista. Malu-malu tapi mupeng!


“Halah, banyak lagak lo. Udah, nyanyi sana!” jawab dia.


Duh, galak bener sih, pikir Jo. Meski begitu, hati Jo berbunga-bunga. Dia, loh yang minta Jo nyanyi! Dia! Haduh, kapan coba, dia pernah minta Jo nyanyi? Nggak pernah kan? Baru kali ini kan? Ya ampun, kalo ini di film Laskar Pelangi, di sekeliling Jo mungkin sudah penuhi bunga-bunga geranium yang melayang-melayang mesra (halaaah).


Jo meraih gitar Dudi untuk kedua kalinya siang itu.


“Mau lagu apa, guys?” tanya Jo ke teman-temannya. Maksudnya sih, ke dia. Hehe.


“Terserah lo aja.” Dia yang menjawab.


Susah payah Jo menahan diri untuk nggak terlihat sumringah. Maklum, cowok itu kelewat hepi.


Setelah berpikir sebentar, Jo mulai menyanyikan Hero-nya Mariah Carey. Penghayatannya terhadap lagu itu masih sama dengan saat dia menyanyi My Heart Will Go On tadi. Tenang aja, dia nggak grepe-grepe badannya sendiri kok! Mau grepe-grepe juga susah, wong dia sambil maenin gitar gitu.


Ah... dia... Jo sendiri sudah lupa sejak kapan dia menyukai orang itu. Padahal awalnya Jo malah tertarik sama orang lain yang bukan dia. Dibolak-balik berapa kali juga, dia itu buka tipe Jo banget. But whatever-lah. Toh Jo udah terlanjur suka, terlanjur cinta.


Hero... adalah lagu yang tepat untuk menggambarkan perasaan Jo saat itu. Hero, sengaja dipilihnya untuk dia, sang pahlawan hati.


Dan siang itu Jo lupa bagaimana rasanya lapar.




-11-


Gambar diambil di sini.