Selasa, 17 Agustus 2010

Mer-de-ka-?



"Merdeka! Merdeka! Merdeka!"

Seruan itulah yang bergema di telinga saya seharian ini sampai-sampai saya muak. 17 Agustus memang momen yang tepat bagi rakyat Indonesia untuk kembali meneriakkan kata penuh semangat tersebut. Kenyataannya memang benar, pada tanggal yang sama, 65 tahun yang lalu, Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan negara ini.

Meski begitu, banyak juga yang masih mempertanyakan “Apakah Indonesia benar-benar telah merdeka?” Well, terserah. Saya tidak terlalu peduli.

Hari saya ingin egois. Hari ini, ingin saya mempertanyakan kemerdekaan saya sendiri. Apakah saya sudah merdeka? Dengan berat hati saya terpaksa menjawab: BELUM. Saya belum merdeka. Hati saya belum sepenuhnya merasakan arti sebuah kemerdekaan.

Bagi saya, merdeka adalah kebebasan untuk menjadi diri sendiri, apa adanya. Merdeka, adalah kebebasan untuk menentukan keyakinan saya sendiri, kebasan untuk menentukan kebahagian saya sendiri. Dan saya belum mengalami kemerdekaan itu. Tepatnya, saya belum berani meraihnya.

Saya ingin merdeka, tapi tidak di sini.

Mungkin saya hanya perlu lebih bersabar.


-11-

Gambar diambil di sini.

Kamis, 12 Agustus 2010

[Semacam Review] Tiga Orang Bego a.k.a Three Idiots


Pertama-tama saya ingin mengucapkan, “Selamat Menjalankan Ibadah Puasa.”

Sedikit pesan: Kurangi dosa selama puasa yah. Saya sih nggak puasa, jadi tetap bisa bikin dosa seperti biasanya. Wakakakakakak. *PLAK!*

***

Ternyata lama juga nggak update. Sebenarnya ada kejadian yang berhubungan dengan hati. Uhm… tadinya mau di-share di sini, tapi setelah dibaca-baca lagi, rasanya seperti membaca diary abege. Urung deh.

Bahas film aja yah.

Salah satu penyebab saya lama mengupdate blog ini karena saya sedang tergila-gila pada film India berjudul Three Idiots. Sejak pertama kali menontonnya sekitar dua minggu yang lalu, saya terus menontonnya berulang-ulang setiap malam. Entah menontonnya secara full, atau sekadar melihat-lihat adegan tertentu saja.

Teman-teman mungkin udah pada nonton ya? Bagi yang belum, segeralah tonton. Dijamin nggak bakal nyesel. Saya aja sempat underestimate. “Ah, film India…,” pikir saya. Padahal sudah berbulan-bulan yang lalu Tuan Muda menyuruh saya menonton film itu, sejak saya mengeluh tidak ada film yang bisa membuat saya menangis termehek-mehek. Setelah menontonnya, saya menyesal: KENAPA BARU DITONTON SEKARANG?

Well, saya payah menulis review, jadi saya singkat saja. Film ini bercerita tentang dua orang sahabat (Farhan dan Raju) yang mencari sahabat lama mereka yang menghilang sejak 10 tahun yang lalu. Setelah mendapat informasi di mana tempat tinggal sahabat mereka yang bernama Rancho (diperankan oleh Aamir Khan) tersebut, maka dimulailah perjalanan panjang dan berbahaya untuk mencarinya. Sambil mencari sahabat mereka, kisah pun bergulir secara flash back, dinarasikan oleh Farhan; tentang pertemuan pertama mereka dengan Rancho, tentang suka-duka semasa kuliah, tentang persahabatan mereka, dsb, dsb.

Film ini sarat akan pesan moral, juga kritik tentang sistem pendidikan di India (yang saya rasa, tidak jauh berbeda dengan Indonesia). Adegan-adegan di film ini luar biasa kocak, dialog-dialongnya smart, namun bisa sangat mengharukan—membuat saya ngakak, menangis, lalu ngakak lagi, lalu menangis lagi… gitu terus sampe kiamat. Untungnya, Three Idiots adalah ‘film India’ sehingga beberapa adegan yang agak lebai cukup bisa dimaklumi. Bagaimanapun, film ini sangat-sangat bagus. Beberapa review yang saya baca di internet menyebutkan bahwa film ini layak disebut sebagai salah satu film India terbaik sepanjang masa. Mantap kan? Saking bagusnya, film yang berdurasi sekitar 2 jam 43 menit ini jadi terasa sebentar saja bagi saya.

Sudah lama sekali saya tidak menonton film yang mengaduk-aduk emosi. Terakhir kali menonton film India yang membuat saya menangis bombay, adalah saat menonton Kuch-Kuch Hota Hai (udah deh, kamu juga pernah nonton kan?). Memang fenomenal sekali film itu. Yang saya kagumi dari aktor dan aktris India, mereka sering berperan menjadi karakter yang umurnya jauh lebih muda dari usia mereka yang sebenarnya, dan sepertinya cocok-cocok saja tuh.

Back to Three Idiots, saking cintanya dengan film ini, saya sampai mendonwload lagu soundtracknya. Lagunya bagus-bagus sih. Ada juga lagu yang bisa membuat mata saya berkaca-kaca, karena saya ingat betul bahwa lagu itu muncul di adegan yang menguras air mata saya. Karena nggak mengerti bahasa India, saya memanfaatkan jasa om google untuk mencari terjemahan liriknya ke dalam bahasa Inggris. Ternyata ada blogger yang menerjemahkannya. Setelah tahu makna dari lagu tersebut, air mata saya nggak bisa dibendung lagi. Astaga!

Saya memang mudah menangis hanya karena sebuah film. Tapi jangan salah. Justru karena tidak pernah menangis dalam menghadapi pahitnya hidup ini (ceileee), maka saya butuh sesuatu yang bisa menjadi pemicu agar air mata saya jatuh. Dari menonton filmlah saya bisa menangis. Entah mengapa, setelah menangis, rasanya lega sekali. Meski yang saya tangisi bukanlah diri saya, tapi saya benar-benar lega.

Three Idiots resmi menjadi salah satu film favorit saya. Juga menjadi film yang paling sering saya tonton. Bayangkan: setiap hari, selama dua minggu.
Agak lebai memang, tapi itulah saya. Haha.


-11-

Kamis, 05 Agustus 2010

BCL

Ada kejadian lucu barusan.

Mas Bimo, bosnya Susno, bertanya kepada saya tentang lagu
nya Bunga Citra Lestari yang sedang saya putar di komputer saya.

Mas Bimo: Judul lagunya opo, Det?

Saya: Ehm... perlu ya saya
kasih tau, Mas?

Mas Bimo: Ya perlulah.
Orang saya tanya kok.

Say
a: (menjawab malu-malu) Karena Kucinta Kau, Mas...

Mas Bimo ngakak
menyadari kekeliruannya. Saya nyengir. Satu ruangan langsung rame. :D


-11- 

Rabu, 04 Agustus 2010

Aal izz well...

Pagi-pagi, kepala saya sudah dibuat panas. Seorang pegawai senior sedang menjelek-jelekkan saya di depan teman-teman. Dia nggak tahu kalau saya berada di persis belakangnya, merokok, memperhatikannya.

Dia segera berhenti setelah menyadari kehadiran saya. Saya sangat emosi. Saking emosinya, saya sampai nggak bisa berkata-kata. Saya cuma memandangnya tajam, sementara dia terlihat salah tingkah.

Saya akui saya memang banyak kekurangan dalam bekerja. Tapi jika diomongin di belakang seperti ini, rasanya kok gimana ya. Apa nggak bisa ngomong langsung di depan saya? Takut? Nggak punya nyali?

Masih terus menatapnya, saya menunggunya berkata-kata lagi.

Tak ada sepatah katapun yang keluar.

Kemudian dia pergi.


-11-