Jumat, 02 Juli 2010

Empati

Saya nyaris ngamuk-ngamuk di KFC.

Oke. Nggak segitunya sih.

Ceritanya, tiga hari yang lalu saya makan malam di restoran cepat saji yang saya sebutkan di atas bersama seorang teman. Saya mengantri untuk memesan menu kami. Sialnya, baris antrian saya rupanya dilayani oleh gadis yang kinerjanya super duper lelet. Gimana nggak, di antrian sebelah sepertinya lancar-lancar saja, di tempat saya kok malah nggak bergerak sama sekali? Padahal ibu didepan saya sepertinya nggak memesan menu yang ribet deh (toh menunya itu-itu juga). Tapi gadis ini sepertinya kewalahan. Saya sih maunya sabar, tapi karena perut sudah menjerit merdu, ditambah melihat orang-orang yang baru datang langsung dilayani di antrian sebelah, lama-lama saya kesal juga. Sempat terpikir untuk pindah antrian, tapi saya memilih untuk bertahan sambil memendam rasa dongkol. Awas ya, gue bakal ngasih komentar pedas atas pelayanan kurang memuaskan ini!

Tiba giliran saya. Saya menatap si gadis layaknya seorang pembunuh berdarah dingin (Ryan Jombang?) yang menatap calon korbannya. Baru saja saya akan memuntahkan kata-kata, tapi si gadis mendahului menyapa saya dengan ramah. Meski terlihat capek, ia tetap memaksakan senyum dan bertanya penuh perhatian, “Selamat malam, Mas. Maaf, mau makan di sini atau dibawa pulang?” Melihat wajah letihnya, rasa dongkol yang sedari tadi memenuhi rongga dada saya tiba-tiba lenyap. Iya, secepat itu.

Saya seperti bisa mengerti kedaannya. Saya berpikir, mungkin saja dia karyawan baru. Atau mungkin dia kecapekan setelah sekian lama berdiri melayani begitu banyak konsumen yang ingin menikmati hidangan cepat saji di restoran itu. Ah, kejamnya saya. Meskipun ekspresi wajah saya telah melunak, sayangnya saya masih kelaparan. Jadi ketika menyebutkan menu pesanan saya, tak ada senyum yang bisa saya berikan (cukup duit saja ya, Mbak. Hehe). Yeah, minimal saya nggak mengeluarkan komentar pedas kan? :p

Saya akhirnya paham (atau setidaknya berusaha untuk paham) posisi si gadis. Jelek-jelek begini, saya menempati salah satu posisi front office di tempat saya bekerja. Posisi yang membuat saya harus berhadapan langsung dengan mitra kerja (stakeholder) dengan karakter yang berbeda-beda. Saya pernah mengalami saat-saat dimana saya kewalahan menangani begitu banyak stakeholder, sementara di antara mereka ada yang nggak sabaran, ngeyel, dan sebagainya. Meski begitu, saya harus sabar dan tetap berusaha melayani mereka sebaik mungkin. Tapi namanya juga manusia, ada saat dimana saya nggak bisa membendung emosi yang akhirnya membuat saya tidak bisa memberikan pelayanan terbaik.

Berempati memang perlu, bahkan harus. Tapi, kalau dipikir-pikir, empati yang hanya dilakukan oleh salah satu pihak saja rasanya kok nggak adil ya? Misalnya, saya berusaha untuk memahami mitra kerja yang datang, mencoba menempatkan diri dalam posisi mereka yang sudah capek-capek ke kantor saya, duduk lama mengantri, berharap pelayanan terbaik dari saya, dan seterusnya. Tapi, apakah saat itu mereka mencoba memahami posisi saya? Ketika saya harus melayani mereka sebaik-baiknya meski saya stuck di tempat saya selama berjam-jam, kadang sampai menahan kencing meski sudah sangat kebelet? Apakah mereka memikirkan itu?

Mungkin iya.

Mungkin juga tidak.

Who knows?


-11-

PS: Oya, ada mitra kerja yang mirip dengan Beruang Putih saya. Dan saya sadar, ternyata saya selalu menanti kedatangannya. Damn!

2 komentar:

BaS mengatakan...

kfc.....missing that place badly! And, yup, been there done that experience, I mean for kfc part, been dealing with a slow waiter, but truth be told, I did mad to his slow service......

Anonim mengatakan...

awal yang baik